Pages

Minggu, 25 Desember 2011

Menari

Semerta saja teringat sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh anak-anak KJD di salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu yang lalu. Lagu dengan aransemen sederhana tetapi memiliki lirik yang luar biasa. Dengan memilih judul “Menari”, lagu ini tentu saja bukan hendak menceritakan tentang macam-macam tarian yang ada di negeri ini. Singkat cerita, lagu ini ingin mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang tak menari.

Semua yang ada di semesta ini melakukan tariannya masing-masing sebagai usaha untuk mencapai tujuannya. Karena menari berarti senantiasa bergerak. Menari berarti bergerak gemulai tapi pandai. Menari berarti bergerak lincah dan terarah. Menari berarti bergerak penuh seni yang falsafi. Bergerak sesuai dengan harmoni yang telah digaristuntunkan oleh Sang Gusti.

Mungkin kita pun pernah mendengar tarian sufi yang populer dengan sebutan tarian darwis. Tarian yang menurut ceritanya, penciptanya adalah seorang sufi besar Islam, Jalaluddin Rumi. Dengan gerakan berputar ke kanan, beporos pada satu titik tertentu, dan kepala menghadap ke atas, tarian ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa walaupun akhirnya dalam hidup ini manusia sering terkecoh oleh ombang-ambing segala tetek-bengek urusan duniawi, pada hakekatnya Tuhan telah menggariskan sesuatu yang nyata dan jelas untuk dianut. Kaki yang berpijak pada satu titik pusat sebagai poros putaran yang bergaris lurus dengan kepala yang mengahadap ke atas, sebagai upaya seorang hamba yang senantiasa mengharapkan kerelaan Tuhannya.

***




Aku setuju saat kau bilang di dunia ini tak ada yang tak menari. Karena ternyata kaki tangan tubuh dan jiwa kita pun enggan berhenti. Menarikan satu, dua, hingga berjuta-juta. Menarikan rasa, rasa, dan segala macam rasa; bahagiatolol, sedihkecut, marah dan ramah di segala remeh-temeh karsa.

Kita menari saat bahagia sekaligus ketololan menyelimuti. Menari dengan berbagai macam cara yang dikenal. Ada yang menyanyi, meratapi, bahkan ada yang hanya sunyi. Menyanyi karena bersyukur, meratapi karena tak cukup berani untuk berbagi, dan hanya sunyi sebab mati tuk sekedar bersyukur sebagai tanda kunci hati. Dan kita tetap menari.

Kita pun menari saat sedih menghampiri. Menarikan lidah untuk bercerita dan mengumpat, menarikan mata untuk berlinang, menarikan tangan untuk bertekad menyempurnakan yang kurang, dan semoga sebagian besarnya menarikan hati tak berpamrih untuk lebih mengharap, mendekat, dan mencinta tanpa patah arang. Tentu saja, kita masih menari.

Kadang kita juga menari saat marah serta kecewa melanda. Bahkan ikut menari untuk rayakan pembelengguan massal dengan derita. Lihat saja manusia-manusia penggede kita di sebuah sudut kuasa. Tarian mereka vulgar dan nyata. Tarian lidah tangan kaki otak tapi tanpa hati. Walaupun begitu, kita tetap saja masih menari.

Apapun itu, kita semua menari. Menarikan tarian-tarian kehidupan. Diiringi irama syahdu rengkuhan Tuhan, dan kadang juga dengan irama sendu tangisan semesta atas ketidakharmonisan manusia atas hakekat jiwanya, dan kita terus saja menari. Menari ceria walau kadang juga lara.

Sidoarjo, 9 Desember 2011

Selasa, 25 Oktober 2011

Ruang Tunggu

By: Faizah Abdullah





Malam ini gelap, Tuan
Malam ini senyap

Masuk dan rebahkanlah
Akan kunyalakan lentera dan kugelar tikar pandan
Beberapa ubi rebus pun telah siap dihidangkan
Biarkan aku saja yang menunggunya malam ini
Karena malam ini gelap, Tuan
Malam ini senyap

Kau telah berdiri disini sejak tiga purnama lalu
Bertasbih dengan hitungan bintang-bintang beribu
Menatap tak berkedip pada ujung jalan yang berbatu itu
Mencari, menanti, termenung, dan senantiasa menunggu
Padahal malam ini gelap, Tuan
Malam ini senyap

Tengoklah sejenak cermin di ruang tengah
Akan kau dapati tubuhmu tak segagah dulu
Kulit dan ototmu tak lagi kencang memberangah
Tampak kantung ungu membiru di bawah matamu
Tapi kenapa kau tak juga mengaku kalah pada lelah
Sudahlah Tuan, malam ini gelap
Malam ini senyap

Malam ini memang gelap
Malam ini benar-benar senyap
Tetapi, adalah dia pelita
Adalah dia cita-cita
Haruskah kuberhenti menanti dan mencari?
Biarkanlah saja aku di sini
Meskipun malam ini gelap
Walaupun malam ini kian senyap

Malang, 18 Oktober 2011

Jumat, 29 Juli 2011

Episode Sri Vol. 3

By Faizah Abdullah



Sebuah pesta. Bergempul asap beraneka. Menggelut, melebur, menyatu. Sebuah bubungan menjulang di nirwana angkasa malam. Bercampur dengan lebat tebal kabut gunung tempat bertapa putra ketiga Dewi Kunti, Arjuna. Gempulan berbagai asap dan kabut itu menyelimut hangatpekatkan malam. Menutupsamarkan bintang dan rembulan. Asap obor berpuluh, asap kayu bakar, asap celeng hampir hangus, asap tembakau yang dihisapsemburkan oleh segenap manusia lupa. Seekor burung hantu bertengger di ujung dahan. Tak pernah berpura-pura membelalak, karena memang ia sudah begitu adanya. Seorang pengelana tua, mabuk dan termenung, tampak duduk disudut ramai. Menerawangkan sebuah saat di kala muda.

Di tengah khalayak, tepatnya di sekitar api unggun menyala, seorang muda gagah berseru meminta perhatian dari segenap manusia yang ada. Mungkin memang cukup tangguh ia dalam hal minuman keras seperti itu, terlihat dari berkendi arak yang telah dilahaphabis olehnya.

“Pesta ini adalah untuk merayakan keberhasilanku sebagai adipati baru di Linggabuana ini. Dan tentu saja, malam ini takkan pernah lengkap tanpa uji ketangguhan.” Pemuda itu berdehem, dan melanjutkan kembali, “Aku, Barapati Trunggojoyo, adipati Linggabuana, menantang siapapun dari kalian untuk adu olah kanuragan denganku. Siapapun kalian yang mampu mengalahkanku, kurelakan wanitaku padanya”. Ucapnya lantang.

Entah iblis darimana yang telah merasukinya. Asal tahu saja, istrinya adalah seorang yang bersahaja yang begitu dikagumi seantero Linggabuana. Banyak sekali pemuda, bahkan yang tua, yang begitu mendambanya. Kecantikannya tak mungkin diragukan lagi. Kecantikan yang mampu meluluh lantakkan hati setiap laki-laki yang berani menatapnya. Kecantikan yang pasti menumbuhkan benci dan cemburu setiap wanita. Kecantikan yang mungkin memang ia titisan para dewa, sehingga segala kesempurnaan bertumpu hanya padanya.

“Kau gila Bara!”, ucap seorang tua tak jauh dari tempat Barapati berdiri menyilangkan tangan, seseorang dari sekian banyak orang tua yang harus disebutnya sebagai paman.

“Kau berani manjadikan istrimu itu sebagai taruhan! Kau tahu apa jadinya jika kau kalah. Atau kau memang sudah ilang warasmu?” lanjutnya penuh amarah tak percaya.

“Aku memang gila paman Petingkir. Aku gila karena belum menemukan seorang pun yang mampu mengalahkanku. Aku belum pernah sekalipun menemukan lawan tanding yang seimbang dan menantang bagiku. Selama ini yang kutemui hanya manusia-manusia pengecut tak punya nyali karena memang mereka tak memiliki kemampuan untuk sekedar tanding olah kanuragan denganku. Aku mempertaruhkan wanitaku, Sri Kumala Rajapadni, karena aku tahu aku tetap yang terhebat. Hahhahahaha..”

Petingkir pun mencoba mamahami pergulatan hati yang dialami oleh kemenakannya itu. Sejak kecil ia tumbuh dan dewasa dengan kehidupan yang sangat berat. Sebagai seorang anak yang tak pernah mengenal ayah dan ibunya karena lebih dulu meninggal di tangan seorang kejam bernama Gadawesi dalam sebuah pertempuran berdarah, ia ditempa oleh kakek dan paman-pamannya mendalami olah kanuragan tak berujung. Siang malam tiada henti ia berlatih. Semula tak ada yang tahu apa yang menyebabkannya begitu semangat dalam latihan, hingga suatu pagi, ia pulang dengan menenteng sesuatu yang dibungkus dengan kain sarungnya, kepala Gadawesi.

Rupanya ia marah. Ternyata ia dendam. Sekian tahun cercaan dan makian anak-anak teman sepermainan yang menyebutnya sebagai anak pungut. Dan ia pun menenggelamkan diri dalam latihan tak berujung. Kemampuan olah kanuragannya tak perlu dipertanyakan lagi, ditempa oleh begitu banyak guru. Ditambah kecerdasannya yang mampu menggabungkan begitu banyak ilmu menjadi sesuatu yang tak tertandingi. Para gurunya sudah melepasnya, mengangggapnya telah cukup mampu untuk mengangkat muka di tengah masyarakat yang selama ini mencibirnya. Kemampuannya telah melampaui guru-gurunya, kemampuannya tak lagi terukur oleh kasat mata. Maka jadilah Barapati saat ini menjadi seseorang yang selama ini diinginkannya.

Barapati, untuk menjadi seorang adipati ternyata harus menggadaikan kejujuran dan kebaikan hatinya. Walaupun memang adipati Linggabuana sebelumnya adalah seorang yang keji dan seorang penguasa lalim, tapi bukan berarti ia pun harus dibunuh dan dicincang untuk kemudian digantikan oleh sang pembunuh, Barapati. Bisa jadi warga yang mengelu-elukannya pun terlena oleh kemenangan pahlawannya, hingga tak menyadari akan adanya sebuah kemungkinan nestapa mereka kan terulang. Bahwa seseorang yang mampu membunuh seorang keji juga berpotensi menjadi keji. Dan semerta Petingkir sang paman pun tersadar, bahwa peluang adanya seseorang yang mampu menghabisi Barapati pun tak pernah tertutup. Ia telah bermetamorfosa manjadi seperti itu. Barapati telah mengambil sikap atas hidupnya, maka biarlah ia juga yang menerima konsekuensi atas sebuah pilihan. Tak ada guna lagi beradu argumentasi dengannya yang tengah kalap.

Sambil berlalu Petingkir menepuk bahu Barapati, seraya berucap, “kau takkan pernah tahu apa yang akan terjadi”.

….

Satu persatu manusia-manusia di sekelilingnya menjadi sedemikian kalap dan beringas. Berpacu berlomba mengadu kemampuan tak berbendung tak berbatas. Sekian puluh pendekar dari segala penjuru beradu untuk mendapatkan hadiah terindah. Seorang wanita yang paling diidam-idamkan seluruh pelosok nagari. Menghantam, meninju, mematahkan tulang, bahkan membunuh sekalipun mereka siap. Barapati pun tampak bahagia mendapat sambutan meriah dari para tamunya itu. Mereka meladeni tantangannya dengan senang hati. Sebuah adu kemampuan yang mematikan itu pun sepadan dengan hadiah yang dijanjikan.

Sementara itu, disudut bilik bambu bercahayakan ublik sambu, seorang wanita muda menangis sesenggukan di pelukan embok paruh baya. Dialah Sri Kumala Rajapadni, wanita sang adipati. Seorang yang kini nasibnya seakan tak mampu ia kendalikan sendiri. Hidup yang dulu ia serahkan pada seorang pemuda tangguh penuh kasih sayang, kini benar-benar harus digadaikan dan dipermainkan. Sang pemuda, bermetamorfosa menjadi sosok yang tak bisa dikendalikan lagi. Segala ucap cinta, semua sikap sayang, dan seluruh tetek bengek perhatian atas sebuah konsekuensi rasa, sekejap saja lenyap, hangus, terbakar oleh api dendam, ambisi dan amarah. Semuanya menjadi asap terbang ke atas ditiup angin hingga ke awan pun tak mampu. Sang kekasih telah membuktikan kepada dunia, setidaknya pada dirinya, tak pernah pantas seseorang menyerahkan diri begitu saja pada siapapun yang tak berhak. Ia menangis akan hilangnya sebentuk rasa yang dulu ada. Ia tersedu pada tak berbalasnya pengaduan di malam-malam sendu. Ia memerah meradang, bahwa kekasihnya kini menjadikannya sebagai taruhan adu kemampuan durjana.

“Menangislah nduk ayu, menangislah. Tumpahkan segala kecewamu. Andai kau izinkan nduk ayu, dari dulu telah kumatikan pemuda yang kau puja itu. Biarkan racunku menghancurkan setiap urat sendi tubuhnya yang telah bahu membahu menyakitimu. Tapi kau melarangku nduk. Dari sejak pertama ia menyakitimu, telah kusiapkan racun itu baik-baik di tanganku. Tapi kau selalu melarangku. Berhentilah menjadi pahlawannya nduk. Ia telah membuktikan dirinya menjadi manusia kejam dan lupa.” Ujar simbok terhanyut dalam biru.

“Aku memang pernah salah karena lebih memilihnya daripada patuh pada ayahanda. Maka aku tak mau mengulang salahku lagi mbok, aku tak mau berpaling dari suamiku. Aku mencintainya, meskipun ia kini tak begitu adanya. Aku menyayanginya, walaupun tak kutahu kini bagaimana ia. Aku akan selalu setia padanya, hingga suatu masa saat ia kembali datang mencinta akan adanya aku. Aku tahu itu akan terjadi, kalaupun tidak seperti itu, aku akan tetap menunggu.” gumam sang wanita muda di sela isaknya.

“Tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini mbok. Suamiku tak lagi mengharapkanku. Saudara dan rakyatku hanya mengelu-elukan kecantikan dalam ketidakberdayaanku. Biarkan aku pergi menyambut sunyi. Mungkin memang hanya cukup seperti ini garisku bertahan bertahan di sini. Ikhlaskan aku berlalu dengan membawa pilu. Dan untuk dia, matahariku, cukup sampaikan salamku.”

“Oalah nduk ayu, aku tak bisa menahanmu untuk tetap tinggal. Pergilah jika itu memang bisa mengembalikan sebentuk senyum di parasmu. Berangkatlah bila itu memang mampu meredakan kecewa di hatimu. Semoga Gusti kan akarya jagat memberimu selamat. Dan untuk Barapati tuanmu, akan kusampaikan salammu.”

…..

Di pucuk gelisah aku tetap menapaki jalanku. Memang sunyi karena aku sendiri. Memang sepi karena tak ada kau kini. Semerta saja aku mengenali satu masa diujung kembara rasa. kau mengenalku sebagai sosok tak bercelanoktah. Setitik setetes tak tampak tak terasa. Begitu rupawan mempesona tiada tara. Kulewatkan saja, barangkali kau sedang berharap cipratan sahaja. Kubiarkan itu berlalu, mungkin kau kan bangun lagi dari tidurpingsanmatimu. Detikmenitjamhari, masih tetap sama. Detikmenitjamhari, tak jua berubah. Aku pun goyah. Dan kutunggu lagi. Hariminggubulantahun, kau tetap teguh. Hariminggubulantahun, membara dalam diam. Aku luluh, tersimpuh, pertahanan benar-benar runtuh.

Tetapi memang berhenti di tahun adaku untukmu. Tak kurang, apalagi lebih. Karena memang di luar kuasaku, teguhmu luntur begitu saja di mataku. Kau tetap kokoh, tapi tak lagi prokoh. Kau tetap sangar, meski semakin samar-samar.

Sebuah keputusan untuk merampungkan sebentuk kisah. Kau lenyap menjadi asap. Maka akulah angin, berhembustiup ke segala penjuru kutub. Membawamu dan segala tentangmu ke awan. Membumbung, melambung, berarak, berjarak. Hingga semesta pun mengerti, bahkan mengenali, inilah cerita sang budak dunia.


Malang, 16 Juli 2011

Senin, 13 Juni 2011

Salah Desain

By: Faizah Abdullah




Sepertinya mereka memang salah memilih desain
Sebuah rumah kotak di pinggir pasar dan jalan besar
Mereka bilang itu dinding; perpaduan triplek dan seng dengan beberapa ventilasi kecil sebab rayap, lepuh, dan karat
Tak pula pandai mereka memilih cat; tampak bermacam poster warna-warni tertempel ngawur berlembar-lembar
Mereka bilang itu pintu; segupil celah sempit, menempel pada dinding dengan engsel sekedar
Mereka bilang itu atap; walaupun panas hujan tetap menjadi sahabat

Tapi mereka tak mungkin mengakui telah salah desain
Meskipun tampak kontras dari menjulangwarnawarni istana sebelahnya
Pagar besi kokohtinggiantikarat, seakan ada ratusan macan di dalamnya
Taman hijau dibentuk bebekgajahkambingular, macam kebun binatang rupanya

Rumah kotak itu, anggap saja, tak pernah salah desain
Mungkin sang arsitek si pemilik memang senang berkawan panas dan hujan
Atau mungkin sang arsitek si pemilik sedang mencoba untuk bisa selalu berkawan dengan panas dan hujan
Mungkin pula sang arsitek si pemilik tidak bisa untuk tidak senantiasa berkawan dengan panas dan hujan
Walaupun mungkin juga sang arsitek si pemilik memang rendah hati, tak gemar sesumbar, bahwa ia tak suka dengan panas dan hujan

Malang, 12 Juni 2011

Episode Sri Vol.2

By: Faizah Abdullah

Namaku Sri. Tapi aku bukan Sri itu, yang dulu saat kelas empat SD selalu kau bikin malu. Aku adalah Sri yang baru. Seorang Sri yang bekerja di pabrik sepatu. Dan membenci hari minggu.
….
Berharap sang ayam mengubah jadwal kokoknya di pagi hari, atau paling tidak nadanya, yang kian hari terdengar kian nyaring dengan tanpa tedeng aling-aling. Rohku yang sedang menyanyi menari dalam buaian mimpi pun dibuat terengah untuk berusaha berpaling. Aku dan rutinitas hariku yang seakan tak mau digantikan sang waktu. Enam hari dalam seminggu aku mematuhtaati bergelut dengan sepatu. Kini, tiba saatnya untuk kembali menata hati, bersua dengan minggu. Hari ketika trauma masa yang dulu tergambar jelas di kelopak mataku. Dekat, erat, seakan kian merapat.

Tak ada yang salah dengan hari minggu. Satu hari yang dinobatkan sebagai hari santai internasional. Bersantai karena lepas dari rutinitas seminggu lalu. Bersantai karena menjadi masa untuk berbagi resep masakan baru, bercanda di binatu, bertawa riang di outlet- outlet sepatu, bertanding di lapangan berdebu, atau sekedar bercumbu dengan timbunan bantal beludru. Hari minggu, walau bagaimanapun, tetap ditunggu. Pak Sangi tetanggaku, seorang tukang becak tua yang sejak aku kecil dulu hingga kini tak pernah mau melepas sadel becaknya, tetap menunggu datangnya hari minggu. Ia yang mangkal di pertigaan jalan raya mengaku berpenghasilan lebih di hari minggu.

Pada hari minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
….

Sebuah lagu kanak-kanak yang sangat berpengaruh sepertinya. Maka semenjak pemerintah melarang delman berkeliaran di jalan-jalan kota, para tukang becak pun mempunyai peran cukup tata.

Seperti yang kukatakan tadi, namaku Sri. Aku bekerja di pabrik sepatu, dari hari senin hingga sabtu. Dan aku membenci hari minggu.

Semenjak kepergian bunda, saat itu aku baru duduk dikelas empat di sebuah SD tak jauh dari rumah, keluargaku hanya menggantungkan hidup pada pensiunan ayah. Ayah yang sakit –atau mungkin memang benar-benar “sakit”, istri ayah –ibu- yang –mungkin pedagang rotan, dan anakistriayah –saudaratiriku- yang –entah. Aku sudah harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan ketiga perut yang senantiasa menunggu; ayah, ibu, dan seorang saudari. Saudari yang kudapat dari istri ayah, dan tak pernah bisa berbeda dari sang ibu. Tidak ada masalah bagiku memiliki adik baru yang cukup bengal, karena aku merasa telah cukup lama menjadi putri tunggal. “Apa salahnya berbagi”, pikirku di suatu pagi ketika kudapati pita pink ku, untuk kesekian kalinya, “pergi”.

Bundaku pergi di hari minggu, tanpa seorang pun tahu ia tergeletak layu. Maka kala itu aku berhenti bermain di hari minggu. Aku tak ingin melewatkan sedetiksaat pun dari hari minggu, karena tak ingin lagi bunda, dan bunda, dan bunda, dan… bunda, milikku, pergi, berlalu. Semula kusenang dengan keputusanku, hingga suatu pagi, di usia 11 ku yang dini, ayahku pulang dan menjejalpaksakan nafsunya pada si kecil aku, tanpa mampu raga ini berlaku,, aku semerta ingat, hari itu, hari minggu.

Setahun kemudian ia menikah lagi, di hari minggu. Dasar ayahku sakit! istriayahku sakit! anakistriayahku sakit!. Maka jangan salahkan aku, jika aku sakit di hari minggu. Hingga suatu siang, aku termangu oleh ulah rotan sematkan memar tangan, paha, punggung, dan entah yang mana lagi, aku telah lupa, yang kuingat, itu semua diawali dihari minggu. Sejak saat itu, aku benci hari minggu. Mingguku selalu kelabu, my Sunday is always so blue.

Kalau saja namaku bukan Sri, maka aku akan berhenti bertahan. Kalau saja namaku tak diawali dengan “Sri”, maka aku akan menolak untuk tersenyum menawan. Kalau saja namaku bukan terdiri atas tiga huruf; s, r, dan i, maka aku akan memilih untuk diam dalam enggan.

Karena namaku Sri, bukan pecundang. Karena namaku diawali dengan “Sri”, bukan penjual tampang. Dan karena namaku terdiri atas tiga huruf; s, r, dan i, bukan *, *,dan *.

Malang, 22 Mei 2011

Minggu, 01 Mei 2011

Parade Senyum

Permisi mas permisi
Permisi mbak permisi
Kulo bade ngamen ten mriki
Tapi sayange kulo mboten saget nyanyi
Nyanyi kulo nggeh ngeten niki
Hahahaha,
Saking isin bade nedi
Satus rongatus nggeh kulo terami
Hehehehe,
….

Aku semakin menikmati saja perjalanan ke-33 mudikku. Bukan sekedar faktor tuntaskan rindu di rumah, tapi juga adanya konser jalanan tak kunjung usai dari awal naik bus hingga berakhir di terminal. Kali ini, giliran pak tua dengan krencengan dari tutup botol minuman yang unjuk gigi. Meskipun, tampak jelas di sana, giginya tak mau kompak, malu-malu tak mau muncul bersamaan. Sesekali di sela-sela nyanyiannya –lebih tepat disebut ocehan– ia tertawa, hahahaha, terkekeh, hehehehe, seolah tak mau tahu dengan panasnya dunia dan bahkan telinga. Dalam mukadimahnya, pak tua mencoba jujur dengan tidak mau menyanyikan karya orang lain karena belum meminta izin, selain dia pun tak bisa. Syair gubahannya pun terdengar mengenaskan karena tak bernada, tapi kekehannya di tengah lagu itulah yang memunculkan senyum kami tak sengaja. “Ocehan” pak tua di bus Restu jurusan Surabaya-Malang, aku mengenangnya. Sebuah teguran ditengah krisis kejujuran.

Senyum hari itu semerta mengingatkanku pada sosok pak tua lain. Seseorang yang tiba-tiba datang ke rumah, dengan gigi yang juga enggan kompak, menawarkan sapu panjang pembersih sawang. Tak ada niat membeli sebenarnya kalau bukan karena wajah letihnya yang kentara. Dia kembali lagi setelah celingak-celinguk tak ada orang di masjid sebelah rumah. “Niki nitip amal damel mesjid”, ucapnya seraya menyerahkan satu buah sapu panjang dagangannya. Senyumnya ini memang tak jauh berbeda. Dengan memanggul ke-11 buah sapu panjang di pundak kanan, dan tas kresek besar berwarna merah di tangan kiri, ia berlalu menyisakan malu. Karena banyaknya yang lupa bahwa “sapu” pun mampu menderma tanpa ragu

Sementara senyum lain pun mengembang di suatu tempat tak jauh. Seseorang berjas rapi menggumamkan seru di balik meja kerjanya. Kumis tipis di atas bibir dicukur rata agar tampak senyum ramah penghasil simpati pada sosoknya. Ia tersenyum tertawa terkekeh dan terbahak oleh teriakan massa dalam demonstrasi sudi lengser dirinya. Ia tersenyum, karena pundi emas ke-41nya baru saja tersimpan apik di kolong kasurnya. Ia tersenyum, karena angka di rekening tak akan pernah membiarkannya pening. Ia tersenyum, karena merasa ialah penguasa tak mempan unjuk rasa.

Maka biarkan saja senyum itu ada. Maka jangan hiraukan senyum kini meraja. Karena memang senyum tak pernah karena duka. Senyum tercipta sebagai ungkapan bahagia. Bagaimanapun bahagia itu menyisakan luka, akan tampak pada senyum siapa.

Malang,31 Maret 2010

Senin, 21 Maret 2011

18032011

Pagi ini aku baru saja mendeklarasikan pernyataan teranyarku tentang mati. Bahwa mati tak selamanya harus menyeramkan hingga dihindari berjuta mil jauhnya. Bahwa mati tidak semuanya mampu tampak mempesona dengan wajah anggun dan bersahaja. Karena mati juga bisa lucu dan keren seperti adanya kita. (Weewwww !!)

Hahaha..

Aku tertegun ketika seorang kawan yang ternyata setelah kupikir-pikir kami setiap hari bertemu, menelponku di pagi buta, atau malah sangat buta karena masih pukul 3.30, dan bilang kangen padaku (WHAT ????). Aku terbahak pastinya karena tak menyangka kawanku yang satu ini sebegitu lebaynya. Dia pun mengajakku dan kawan-kawan yang lain untuk berkumpul seperti biasa di kampus pukul 8 tepat. Tidak ada yang boleh telat. Di tempat dan waktu yang telah disepakati, aku dan kawan-kawan yang lain sudah berkumpul sambil nggedabrus tanpa ujung sambil menunggu kawanku yang satu itu. Satu jam, dua jam, sampai lima jam menunggu tidak datang juga, kami pun bertanya-tanya apa yang terjadi, karena telpon dan sms hanya dijawab singkat. Kami pun pulang, dan semerta lupa pada penantian barusan.

Seminggu kemudian aku bertemu dengannya. Seperti biasa, penyakit lebay alay ndak karu-karuan kumat lagi. Dan dengan alasan belum siap bertemu aku pada ide ngumpul kemarin, ia memulai ceritanya. Malam itu ia bermimpi; tentang aku kala telah datang bagiku sang Waktu. Dalam sebuah drama tragis yang hanya mengorbankan aku. Terisak ia melihatku tersenyum dalam balutan mori. Ditambah lagi ketika mayatku merasa lelah dengan posisi terlentang dan mulai mencari kenyamanan dengan sedikit miring ke kanan. Ia pun dibuat terbirit oleh mayatku yang ternyata hanya butuh sedikit pijatan lembut (hehe..). Dan ternyata setelah ganti posisi itulah kawanku itu akhirnya bisa bangun dari tidurnya, karena saat itu mori penutup kepala mayatku terbuka, tampak dua kuncir menyembul tak sengaja. Ia pingsan dalam tidur, tapi kemudian bangun dari tidur.

Hemmm….

Parah,,

Malang, 18 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

Episode Sri


Semerta teringat akan satu iklan televisi program belajar pemerintah saat kecil dulu. Bernamakan sama, persis, tidak beda, atau apapun itu, dengan namanya, Sri. Terkesan kampungan untuk duniaku saat ini. Tapi itulah, nama terindah yang singgah di benak sang bapak dan emak kala itu. Semesta mereka percaya bahwa Sri adalah dewi kesejahteraan. Maka ia pun memutuskan untuk menurut saja dinamai itu. Tapi nyatanya sang dewi juga harus bermetamorfosa sesuai dengan jamannya. Karena Sri kecil dalam iklan itu harus menjadi tumbal sejahtera lingkungannya. Karena Sri sang menteri pun harus berhenti dipuja. Bahkan Sri yang ini juga harus selalu dikejutkan oleh nestapa.

Sebening embun suatu hari kubertatap ayu senyumnya. Seraya mengulurkan tangan terdengar sapa manis, hingga aku pun terhanyut dalam canda seolah tak pernah ada lara singgah dalam jagatnya. Lincah mata dan tangannya saat bertutur mengkisahkan sebuah mendung di balik semua pelangi di wajahnya. Aku pun tertegun dalam kagum. Setegar inikah karang di lautan? Sesempurna Sri-ku kah bidadari di khayangan? Maka hari-hariku pun diriuhkan oleh decakan-decakan kagum pesona ketegarannya, hingga suatu senja berdebu kutemukan ia kelabu. Wahai Sri-ku sayang Sri-ku malang, kiranya kau hendak meremukkan galaumu, telah kusiapkan jiwa ragaku bersamamu. Tuangkan segala gundah resahmu dalam cawan hatiku, kan kulebur semua itu dengan gula kasih pemberianmu dulu.

Percayakah kau akan sejatinya rasa? Sri mengingatkanku akan rumitnya hal itu. Dalam sedu sedan tangisnya, aku menjerit untuk lara. Akankah aku berhenti percaya pada ketidakabadian rasa? Padahal Sri-ku kini sakit karenanya. Wahai kau yang telah memercikkan api bara, lihatlah Sri-ku sayang Sri-ku malang. Dari bawah bantal basah penuh airmata kutemukan penyakitnya:

Goblok !!
Susah sekali membuatmu mengerti,
Aku tak tercipta dari batu yang kan terkikis saat kau ulur-ulur waktu
Kau suka sekali bertele-tele dalam basa-basi yang semakin basi
Tak bisakah kau bertindak cepat menggapai maumu tanpa banyak memikirkan strategi yang seakan selamanya hanya akan menjadi strategi tak bergigi
Aku lelah,
Jangan buat aku terlarut dalam lelah
Hingga akhirnya kan kuanggap kisah kita telah kalah
Setemaram senja hatiku menghamba pada cahaya samar
Karena tak kusangka akan banyak mata mencintanya dalam binar
Maka kuputuskan untuk menurut dan kalah dalam nanar.

Maka aku pun tak pernah menyesal untuk tidak berhenti percaya, bahwa tak ada yang abadi dalam fana, apalagi hanya sekedar rasa.

Malang, 11 Maret 2011

Selasa, 22 Februari 2011

38 HARI

Aku meminta izinmu kawan, untuk menceritakan pada dunia tentang 38 hari milik kita, yang mungkin takkan tuntas dilukiskan kata-kata. Jikalau ada sesal kawan, aku bertaruh dengan istana imajinatifku, akan kuremukkan setiap bata dan batunya yang tertata, untuk kujadikan bunga terindah dalam hatimu. Karena 38 hari itu nyatanya telah benar-benar menjadi kenangan paling ingin diulang. Setuju atau tidak, 38 hari kita terdiri atas 3 fase. Sekali lagi, Setuju atau tidak, ketiganya terarah pada satu kepastian: indah.

Ingatkah kau kawan, dalam harap dan cemas menunggu datangnya suatu masa ketika kita benar-benar harus bersama. Saat ia datang, tentu saja ceria menggelora, bahagia membadaitopankan lara, hingga dengki dan benci lenyap entah kemana. Pada saat itu, tanpa kita sadari bahaya mahadahsyat mengintai. Bahaya ego pun membuncah, merasa paling benar dan hebat. Inilah fase AKU. Segala selain dirinya hanya nothing dan will never be a thing. Menafikan semesta kawannya untuk mempercantik semestanya sendiri. Bertopikkan “AKU”, kita tetap tertawa dalam canda, menertawakan semua yang tak mau masuk dalam“AKU”. Bahkan sekedar bersapa dengan “KAU” atau “DIA” pun enggan. Maka kemungkinan yang ada adalah 38 hari kita menjadi “MILIKKU”. Tak ada lagi ruang bahkan kesempatan untuk yang lain. Selamat datang dalam dunia bencana ego.

Sebenarnya tak terlalu parah dampak yang ditimbulkan oleh salah itu. Hanya mungkin dosis yang kita pakai terlalu tinggi. Maka tentu saja nggliyeng dan puyeng tak segan lagi menghampiri. Program kerja tak matang dijadikan alasan. Sikap tidak tanggungjawab menjadi kambing hitam. Ditambah lagi dengan berjuta “karena”, sehingga selainnya pun menjadi tumbal. Malam kita tak pernah dingin kawan, malam kita penuh sesak dengan kata “ingin”. Kalau anggrek yang menempel pada mangga itu diizinkan bersuara, tentu yang terdengar adalah “J****K !!!!”, karena ternyata, kita tak pernah memberinya kesempatan untuk mendengarkan cerita indah kita, pujian manis kita. Yang ada hanyalah pertarungan angkuh dan arogansi. Koordinasi yang benar-benar mencipta frustasi. Sekali lagi kawan, jangan buat salah ini menjadi alasan untuk selalu terpuruk. Asal kau tahu, inilah fase KAMU. Semakin kita memaki, semakin kita mencari tahu sifat dan tabiat seorang kawan. Kita baru memulai untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Walaupun tampak terlalu ekstrim, tapi itulah kenyataannya. Topik kita adalah WH Question; what, who, where, when, why dan how. Pertanyaan yang sama setiap hari; apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Tentu saja, dalam fase ini yang menjadi objek utama adalah “KAMU”, bukan “AKU”.

Kalau saja 38 hari adalah sebuah ajang pencarian bakat seperti yang sedang marak akhir-akhir ini, tentulah kita pemenangnya. Bagaimana tidak, begitu banyak bakat rahasia dan dirahasiakan yang akhirnya terkuak. Kita memaksa diri kita sendiri untuk bisa. Tidak bisa tidak, karena kita memang harus selalu paling bisa. Mengesampingkan keAKUan dan keKAMUan. Sebuah spirit untuk menciptakan “AKU” dan “KAMU” yang serba bisa. Kalau bukan karena gengsi kau sudah menasbihkan KITA dalam AKU dan KAMUmu. Tapi itulah, kita sedang berada dalam masa transisi paling kejam. Karena harus membunuh dan meleburkan diri dalam KITA. Inilah akhirnya fase KITA. Berusaha menyatu dan bersama berseru: 38 hari ini milik KITA !!.

Adakalanya kita bersatu bukan karena berada dalam satu wadah, melainkan karena berada dalam satu konflik

38 hari yang dulu ditunggu datang dan perginya
38 hari ego ditempa dalam balutan amarah serta canda
38 hari untuk menemukan KITA


Sidoarjo, 21 Februari 2011

Kamis, 17 Februari 2011

booom,

Mungkin memang terlalu jauh ia melangkah keluar, hingga batas bahaya pun dilanggar. Ia berteriak marah pada kaki tanpa mata yang tak sengaja menginjak. Maka aku pun tunduk pada erang dan merah padam dendam. Terkungkung dalam jeruji bara kecewa bahkan sesal. Tahukah kawan? Putih tak pernah benar-benar putih jika tanpa hitam sebagai pembanding, dan begitu pula sebaliknya. Tak pernah ada antagonis dalam hidup kecuali jika kau ciptakan protagonisnya. Tapi ingatlah, protagonis pun tak pernah tercipta sempurna karena tanpa cacat. Kesempurnaan hadir dalam warna-warni yang kau pilih tuk dampingi sang putih. Biarkan sang pipit keluar sarang tuk belajar terbang, ketika ia terantuk dahan jangan pernah kau salahkan, tolonglah ia, karena bahkan mengepakkan sayap pun butuh keberanian.

Seekor elang berang oleh cucuk paruh pipit terantuk ketika belajar terbang. Pipit kecil tak pernah ingin dikasihani, tapi tajam mata elang menyambar segala keberanian yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Pipit kecil mengaku salah karena gagal kepakkan sayap, tapi elang terlanjur geram atas secuil laku lemah dan mungkin bodoh tak ditolerirnya.