Pages

Kamis, 26 Juli 2012

Legenda Tikus Berdasi

*Dongeng Sebelum Tidur 1

Dikisahkan, pada jaman dahulu kala ada sebuah negeri antah berantah yang sangat dikenal dengan keelokan alaminya. Sebut saja negeri Z. Negeri dengan hamparan dataran hijau nan subur yang sangat luas. Negeri dengan bentangan lautan biru yang seakan tak ada ujungnya. Berjuta-juta jenis tanaman yang ditanam atau ditancapkan saja pada buminya dapat tumbuh disini. Berjuta-juta macam ikan dapat dengan leluasa hidup dan berkembangbiak di airnya. Hewan apapun yang ada di hutan-hutan dan di daratannya akan dengan senang hati turut menjaga kelestarian. Sejauh mata memandang adalah hamparan hijau dan biru. Penduduknya pun hidup selaras dan sehati dengan alam di sekitarnya. Saling memberi dan menerima, hormat-menghormati, dan saling mengasihi. Mereka hidup dalam sebuah ajaran untuk kehidupan yang arif, kehidupan yang damai. Sebuah kekayaan dan kearifan negeri yang ternyata menimbulkan kedengkian di hati para tetangganya.

Para tetangga yang iri dengan kekayaan alami negeri itupun akhirnya berkumpul dan berembug. Satu sama lain saling mengemukakan kedengkian masing-masing terhadap negeri itu. Mengapa pohon A tidak bisa tumbuh di tanah B tapi bisa tumbuh subur di tanah Z. Mengapa buah C tak semanis bila ditanam di tanah Z. Mengapa hewan B tak ditemukan di tanah C malah berkembang biak dengan pesat di tanah Z. Mengapa ini, mengapa itu, dan lain sebagainya.

Kemudian, dalam keriuhan perkumpulan itu berdirilah seorang tua di antara mereka, seorang pemimpin dari negeri H, sebuah negeri yang terletak di sebelah barat negeri Z. Dengan penuh wibawa, orang itu menenangkan keriuhan dan mulai berkata, “Sahabat-sahabatku para pemimpin negeri, hari ini kita berkumpul di sini bukanlah untuk saling memperdengarkan keluhan-keluhan atas negeri kalian masing-masing, bukan pula untuk saling menceritakan kedengkian masing-masing, kita berkumpul di sini adalah untuk mencari titik tengah dan untuk mencari kesepakatan bersama atas sebuah solusi agar kekayaan negeri Z segera menjadi milik kita bersama. Negeri Z itu sudah terlampau lama menikmati kekayaan negerinya sendiri. Bukan salah kita jika kita mendapatkan negeri yang kurang subur, tapi adalah kewajiban kita untuk mencari dan mendapatkan tanah yang lebih subur. Oleh karena itu sahabat-sahabatku para pemimpin negeri, aku mengusulkan untuk segera melakukan invasi ke negeri Z.”

Seluruh pemimipin negeri pun menyetujui usul tersebut. Mereka pun segera mempersiapkan penyerangan terhadap negeri Z. Hingga tibalah hari itu, hari ketika beribu-ribu pasukan menyerbu di pagi buta. Negeri Z yang aman dan tenteram itu pun terkejut bukan kepalang. Dengan segala kemampuan mereka berusaha mempertahankan kedaulatan. Para penjajah itu pun dengan senang hati meladeni kegigihan mereka. Darah dimana-mana, mayat bergelimpangan, api pun berkobar di segala penjuru. Akan tetapi, sungguhpun para penjajah itu berusaha sekuat tenaga untuk melumpuhkan rakyat negeri Z, mereka tak segera mampu melakukannya. Rakyat negeri Z adalah orang-orang yang sangat tangguh, mereka terbiasa bekerja keras, mereka pun selalu diajarkan untuk selalu menjaga kesatuan dan persatuan. Maka usaha untuk menyerbu mereka pun dengan singkat dapat dipatahkan. Para pemimpin negeri tetangga itu pun mulai gelisah. Mereka tak ingin penyerbuan ini sia-sia, pun mereka tak ingin pasukannya terlalu banyak yang menjadi korban. Mereka pun segera berkumpul dan berembug kembali. Kali ini dengan wajah yang sangat gelisah.

“Kita tidak bisa membiarkan ini berlangsung terus menerus”, kata salah seorang diantara mereka.

“Mereka terlalu kuat, mereka begitu bersatu, kita harus membuat mereka terpecah. Kita harus segera menemukan titik lemah mereka”, kata yang lain.

Lalu berdirilah pemimpin dari negeri H, “Baiklah sahabat-sahabatku, kita telah menyaksikan sendiri betapa mereka tak bergeming dengan peperangan penuh kekerasan ini. Maka dari itu, kita harus membuat sebuah strategi baru, aku mengusulkan, sebuah peperangan dalam diam.”

“Apa maksudmu?”, bertanya salah seorang diantara mereka.

“Sebuah peperangan yang bahkan mereka tidak akan menyadari keberadaannya, sebuah peperangan yang akan menguliti setiap lapis kehidupan masyarakatnya, sebuah peperangan yang akan sangat menghancurkan. Dalam perang ini kita tak perlu menyiapkan pasukan, karena darah yang akan tertumpah hanyalah darah rakyat mereka. Dalam perang ini kita tak perlu menyiapkan dana yang besar, karena nantinya mereka sendirilah yang akan menyerahkannya pada kita. Dalam perang ini kita hanya akan duduk nyaman sambil menonton mereka saling menyikut, menjegal, bahkan membunuh. Mereka akan hancur dengan tangan dan kaki mereka sendiri. Akan tetapi kehancuran mereka ini bukanlah kehancuran yang kita inginkan. kehancuran yang sebenarnya adalah ketika akhirnya mereka datang kepada kita dan menyembah-nyembah untuk diberi pertolongan. Pada saat itu tiba, kita akan dapat dengan mudahnya mempermainkan mereka, jangankan sebidang tanah yang kalian impikan, seluruh negeri hingga rakyat-rakyatnya pun bisa kita kuasai.”

“Tetapi bagaimana caranya?”, sebuah suara terdengar mempertanyakan.

“Ketahuilah sahabat-sahabatku, bahwa sebuah pohon akan mati jika kita mencabut akarnya. Begitu juga dengan negeri Z, kita harus bisa menguasai para pemimpinnya. Kita buat pemimpin-pemimpin mereka itu menjadi tikus di negerinya sendiri, tikus-tikus yang akan mengantarkan makanannya pada kita, tikus-tikus yang akan menjadi budak kita. Apalah daya rakyat biasa jika para pemimpinnya sudah kita kuasai, kita beri iming-iming selangit, kita tularkan gaya hidup busuk pada mereka hingga mereka benar-benar teperosok dan tak mampu keluar lagi.”

Maka segeralah dimulai peperangan itu. Sebuah peperangan dalam diam. Satu per satu pemimpin negeri Z itu mulai terperosok. Ekor-ekor tikus mereka mulai terlihat di sepanjang jalan. Seekor tikus memakai jas dan berdasi rapi. Sesekali mereka mengunjungi gudang beras, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Mengunjungi bank, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Mengunjungi tempat olahraga, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Bahkan mencium-cium kitab suci, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan.

Rakyat yang selama ini selalu percaya kepada pemimpinnya mulai merasakan gelagat tidak baik. Mereka merasa telah dikhianati. Tanpa terkendali lagi, seakan dalam sebuah gerakan yang masif, mereka mengungkapkan kekecewaan mereka dalam satu tindakan yang sama, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Maka tampaklah kemudian, beribu-ribu tikus berdasi mondar-mandir melenggang dengan santainya sepanjang jalan. Jalan-jalan, gedung-gedung, sekolah-sekolah, bahkan tempat ibadah, menjadi makanan lezat mereka sehari-hari. Dimana-mana berantakan, dimana-mana bau busuk menyengat, dimana-mana tak ditemukan lagi tempat aman. Tikus-tikus itu mengambil dan menggerogoti untuk kemudian diberikan pada negeri lain yang mau memberinya imbalan yang lebih menarik. Mengambil yang bukan miliknya, menggerogoti yang bukan haknya, menghancurkan sesuatu untuk menghilangkan jejaknya.

Maka jadilah negeri yang aman tenteram itu sarang tikus yang menyeramkan. Begitu bau, gelap, dan kotor. Mereka telah kalah dalam peperangan. Sebuah kekalahan yang bahkan tak pernah disadarinya. Kisah tentang negeri elok yang makmur itu kini telah benar-benar menjadi sebuah kisah masa lampau yang hanya akan diceritakan pada anak-anak menjelang tidur mereka, agar mereka tidak lagi takut pada kotor, agar mereka tidak lagi takut pada gelap, agar mereka tidak lagi takut pada tikus dan tikus.

Sidoarjo, 26 Juli 2012

0 comments:

Posting Komentar