Pages

Senin, 21 Maret 2011

18032011

Pagi ini aku baru saja mendeklarasikan pernyataan teranyarku tentang mati. Bahwa mati tak selamanya harus menyeramkan hingga dihindari berjuta mil jauhnya. Bahwa mati tidak semuanya mampu tampak mempesona dengan wajah anggun dan bersahaja. Karena mati juga bisa lucu dan keren seperti adanya kita. (Weewwww !!)

Hahaha..

Aku tertegun ketika seorang kawan yang ternyata setelah kupikir-pikir kami setiap hari bertemu, menelponku di pagi buta, atau malah sangat buta karena masih pukul 3.30, dan bilang kangen padaku (WHAT ????). Aku terbahak pastinya karena tak menyangka kawanku yang satu ini sebegitu lebaynya. Dia pun mengajakku dan kawan-kawan yang lain untuk berkumpul seperti biasa di kampus pukul 8 tepat. Tidak ada yang boleh telat. Di tempat dan waktu yang telah disepakati, aku dan kawan-kawan yang lain sudah berkumpul sambil nggedabrus tanpa ujung sambil menunggu kawanku yang satu itu. Satu jam, dua jam, sampai lima jam menunggu tidak datang juga, kami pun bertanya-tanya apa yang terjadi, karena telpon dan sms hanya dijawab singkat. Kami pun pulang, dan semerta lupa pada penantian barusan.

Seminggu kemudian aku bertemu dengannya. Seperti biasa, penyakit lebay alay ndak karu-karuan kumat lagi. Dan dengan alasan belum siap bertemu aku pada ide ngumpul kemarin, ia memulai ceritanya. Malam itu ia bermimpi; tentang aku kala telah datang bagiku sang Waktu. Dalam sebuah drama tragis yang hanya mengorbankan aku. Terisak ia melihatku tersenyum dalam balutan mori. Ditambah lagi ketika mayatku merasa lelah dengan posisi terlentang dan mulai mencari kenyamanan dengan sedikit miring ke kanan. Ia pun dibuat terbirit oleh mayatku yang ternyata hanya butuh sedikit pijatan lembut (hehe..). Dan ternyata setelah ganti posisi itulah kawanku itu akhirnya bisa bangun dari tidurnya, karena saat itu mori penutup kepala mayatku terbuka, tampak dua kuncir menyembul tak sengaja. Ia pingsan dalam tidur, tapi kemudian bangun dari tidur.

Hemmm….

Parah,,

Malang, 18 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

Episode Sri


Semerta teringat akan satu iklan televisi program belajar pemerintah saat kecil dulu. Bernamakan sama, persis, tidak beda, atau apapun itu, dengan namanya, Sri. Terkesan kampungan untuk duniaku saat ini. Tapi itulah, nama terindah yang singgah di benak sang bapak dan emak kala itu. Semesta mereka percaya bahwa Sri adalah dewi kesejahteraan. Maka ia pun memutuskan untuk menurut saja dinamai itu. Tapi nyatanya sang dewi juga harus bermetamorfosa sesuai dengan jamannya. Karena Sri kecil dalam iklan itu harus menjadi tumbal sejahtera lingkungannya. Karena Sri sang menteri pun harus berhenti dipuja. Bahkan Sri yang ini juga harus selalu dikejutkan oleh nestapa.

Sebening embun suatu hari kubertatap ayu senyumnya. Seraya mengulurkan tangan terdengar sapa manis, hingga aku pun terhanyut dalam canda seolah tak pernah ada lara singgah dalam jagatnya. Lincah mata dan tangannya saat bertutur mengkisahkan sebuah mendung di balik semua pelangi di wajahnya. Aku pun tertegun dalam kagum. Setegar inikah karang di lautan? Sesempurna Sri-ku kah bidadari di khayangan? Maka hari-hariku pun diriuhkan oleh decakan-decakan kagum pesona ketegarannya, hingga suatu senja berdebu kutemukan ia kelabu. Wahai Sri-ku sayang Sri-ku malang, kiranya kau hendak meremukkan galaumu, telah kusiapkan jiwa ragaku bersamamu. Tuangkan segala gundah resahmu dalam cawan hatiku, kan kulebur semua itu dengan gula kasih pemberianmu dulu.

Percayakah kau akan sejatinya rasa? Sri mengingatkanku akan rumitnya hal itu. Dalam sedu sedan tangisnya, aku menjerit untuk lara. Akankah aku berhenti percaya pada ketidakabadian rasa? Padahal Sri-ku kini sakit karenanya. Wahai kau yang telah memercikkan api bara, lihatlah Sri-ku sayang Sri-ku malang. Dari bawah bantal basah penuh airmata kutemukan penyakitnya:

Goblok !!
Susah sekali membuatmu mengerti,
Aku tak tercipta dari batu yang kan terkikis saat kau ulur-ulur waktu
Kau suka sekali bertele-tele dalam basa-basi yang semakin basi
Tak bisakah kau bertindak cepat menggapai maumu tanpa banyak memikirkan strategi yang seakan selamanya hanya akan menjadi strategi tak bergigi
Aku lelah,
Jangan buat aku terlarut dalam lelah
Hingga akhirnya kan kuanggap kisah kita telah kalah
Setemaram senja hatiku menghamba pada cahaya samar
Karena tak kusangka akan banyak mata mencintanya dalam binar
Maka kuputuskan untuk menurut dan kalah dalam nanar.

Maka aku pun tak pernah menyesal untuk tidak berhenti percaya, bahwa tak ada yang abadi dalam fana, apalagi hanya sekedar rasa.

Malang, 11 Maret 2011