Pages

Minggu, 26 Desember 2010

Ram,

Seorang kawan bertanya di suatu subuh berembun,

“Tahukah kau tuan raden yang membahasakan rasa?

“Ya, aku tahu”, jawabku.

“Maukah kau menyampaikan salamku padanya, betapa kumerindu beribu tahun lamanya”.

Aku tercenung direnung. Haruskah kuangkat belati menikam sukma agar radenku tak perlu dimiliki siapa.

Minggu, 07 November 2010

Kita Ada Karena Cinta

Kita ada karena cinta.

Aku menemukannya tak sengaja dalam endapan pemahamanku akan cinta. Bahwa kita ada karena cinta. Diawali dengan cinta Sang Maha memiliki cinta. Memberi kesempatan untuk bersyukur. Menjadi khalifah kepercayaanNya. Mengembalikan cintaNya dengan kembali mencintaNya. Bernafas, bergumam, berlaku, semua atas nama cinta.

Cinta ayah bunda yang dianugerahkan Sang Pemberi cinta. Mengasihi, melindungi, memenuhi segala butuh, dengan penuh cinta. Dari rahim penuh cinta bunda kita lahir. Dari setitik sperma cinta ayah kita berasal. Mengayomi, mendidik, mengajari kita dari hal sekecil apapun hingga hal-hal yang luar biasa, semua karena cinta. Jika mereka marah, tentu karena cinta. Jika mereka bahagia, pasti sebab cinta. Karena cinta mereka berasal dari mata air cinta keabadian. Mata air cinta Tuhan.

Untuk saudara, sahabat, dan terkasih, atas sebentuk cinta. Mewarnai pelangi hari dengan riang dan muramnya. Meniupkan sengkakala semangat di hari-hari kelam. Menghembuskan nafas kesetiaan dalam payung surga. Selalu ada dalam cinta.

Para pahlawan yang mulia, kami haturkan salam sanjung kami. Atas cintamu, kau bebaskan kami dari pilu ketidakmerdekaan negeri. Wahai pahlawan yang terhormat, kami angkat topi atas segala jasa cintamu pada negeri ini, pada kami, generasi negeri berlimpah cinta, para penerus bangsa.

Kepada tuan-tuan penjaga rel kereta api, pemantau aktivitas laut dan gunung berapi, pemadam kebakaran, dan semua kalian yang telah menjaga kami atas nama cinta. Kami tahu itu tak sekedar karena sesuap nasi pengganjal perut, atau mungkin ungkapan pengabdian diri pada negeri yang sedang sakit ini, tapi lebih karena cinta. Cintamu pada pekerjaan. Cintamu pada kami, orang-orang yang bahkan seringkali lupa akanmu. Cintamu pada Ia yang telah memberimu kedahsyatan cinta.

Kawan, sekali lagi,

Kita ada karena cinta.

Selasa, 21 September 2010

Menyikapi Sebuah Kehilangan

Sebuah kehilangan yang masih menurut kita bukan berarti kehilangan yang sesungguhnya. Karena manusia seringkali menganggap segala miliknya adalah benar-benar miliknya. Tak sadarkah kita bahwa kita tak memiliki apapun, bahkan diri kita sendiri. Kita hanyalah setitik debu yang diciptakan Tuhan, yang kemudian dilengkapi segala kebutuhan dan keinginannya sebagai sebuah pinjaman. Apa yang kita miliki saat ini dalah pinjaman dariNya, yang suatu saat pasti akan diambil kembali. Karena ketidaksadaran, keserakahan, dan ketidakmengertian itulah kita lebih senang untuk mengklaim apa yang ada pada diri kita saat ini sebagai milik kita dan dihasilkan oleh kita sendiri. Sehingga ketika mereka diambil atau lebih tepatnya diminta kembali,kita menganggapnya sebagai sebuah kehilangan.

Kematian, kecurian, kebangkrutan, dan lain sebagainya yang sering disebut sebagai penyebab hilangnya sesuatu dari kita menjadi sesuatu yang ditakuti. Segala macam cara di upayakan untuk menghindar dan menjauhkan diri darinya. Kita memang dituntut untuk ikhtiar menghindari sesuatu yang dapat merugikan diri kita, tapi tidak lantas melupakan pasrah dan tawakkal untuk kemudian percaya pada penjagaan Allah SWT.

Sebuah kesadaran akan muncul ketika kita menyikapi sesuatu yang menurut kita adalah sebuah kehilangan sebagai sebuah pinjaman yang diambil kembali oleh sang pemilik. Seperti halnya ketika kita meminjam buku pada seorang teman untuk kemudian pada saatnya nanti pasti akan dikembalikan.

Pernahkah kau mengira bahwa ia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Sebuah lyric dari Letto seakan mengiyakan pemahaman kita. Bahwa ketika kita menganggap sesuatu itu adalah milik kita, maka adalah sebuah kehilangan yang akan kita rasakan. Akan tetapi ketika kita menyadari bahwa tak satu pun yang ada pada kita saat ini adalah milik kita, hati akan lebih khusyuk dalam tunduk untuk berkata inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kita kembali.

by: Faizah Abdullah

Ramadan - Iedul Fitri

Sewaktu kecil dulu pak ustadz di TPQ sering bercerita tentang iedul fitri yang dinanti. Katanya, itulah saat kita sebagai manusia dikembalikan pada suatu titik suci seperti bayi yang baru lahir. Tentunya setelah dicuci , bahkan mungkin harus direndam terlebih dahulu, dalam kemurnian dan kemuliaan Ramadan. Aku pun bertanya-tanya, akankah manusia yang selama hampir setahun menghabiskan waktunya dalam kesia-siaan hidup, bahkan hampir dan mungkin sudah lupa akan hakikat kehidupan, atau mungkin juga lupa akan Penciptanya, masih diberi waktu untuk melebur dan mensucikan diri dalam Ramadan. Bahkan, manusia dalam masa yang hanya satu bulan itu pun masih enggan melepaskan angkuhnya sebagai makhluk lemah untuk segera bersujud dan tunduk pada Sang Penguasa jagat raya.

Ramadan yang dinanti, Ramadan yang dikhianati. Penantian pada Ramadan seakan hanyalah sebatas rindu pada euphoria dan gegap gempita indahnya Ramadan di waktu kecil. Sebuah saat dimana banyak orang merasa nyaman-nyaman saja bermain petasan, berbelanja, dan ngabuburit bersama kawan lama dan yang tercinta. Tentu saja dengan dalih ibadah, sedekah, dan menyemarakkan bulan berkah. Juga sebuah saat dimana suasana malam di sepanjang jalan-jalan kota makin gemerlap oleh orang-orang yang berjualan aneka makanan untuk perut, mata, bahkan nafsu. Pada saat malam itu, setelah seharian tak makan dan minum, menjadi momen balas dendam tak terampunkan. Tapi Allah al Ghofur mengampuni mereka. Allah al Rohman al Rohim begitu menyayangi mereka dan memberi kesempatan yang entah keberapa kalinya, untuk bertaubat dan kembali berpegang pada taliNya. Agar di hari esok, puasa di hari berikutnya, mereka bisa memperbaiki diri,meluruskan hati, dan membenahi jiwa untuk menyambut hari iedul fitri.

Iedul fitri berarti kembali kepada fitrah. Kembali kepada hakikat penciptaan. Kembali kepada sebuah ketundukan pada Allah al Fathir. Layaknya baju kusam yang kemudian direndam dan dicuci, manusia menjadi kembali bersih, tetapi itu berlaku jika mencucinya dengan benar-benar. Memang, saat itu manusia tak ubahnya bayi baru lahir yang begitu suci tanpa dosa. Tapi itu hanya berlaku untuk dosa-dosa pada sang Pencipta, tidak berlaku dengan dosa-dosa antar manusia. Itulah sebabnya manusia diperintahkan untuk bersilaturahim, meminta maaf dan memaafkan. Sebuah pekerjaan berat bagi pendendam, tapi sangat menyenangkan bagi pemaaf.

Iedul fitri mulia, iedul fitri penuh karunia. Sejak gema takbir dikumandangkan, suasana semarak hadir dengan semerta. Kegiatan silaturahim, maaf-maafan, dan berjabat tangan di hari lebaran kini begitu jauh terperosok dalam tema sebagai sebuah formalitas tahunan dan ajang pembuktian “gue tuh anak gaul..” dan “ih, loe jadul banget sih!”. Tentu saja dengan bumbu-bumbu saling melempar cela maki dalam selimut joke-joke tak masuk akal, bermotif abstrak yang pastinya tak begitu jelas.
Kemajuan teknologi pun rupanya juga mempengaruhi kualitas silaturahim manusia. Maaf-maafan berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya dengan segera digantikan dengan kartu ucapan selamat lebaran yang dihias dan dibentuk sedemikian rupa. Tak berlangsung lama,tradisi itu pun turun tahta seiring dengan ramainya orang menggunakan telepon genggam. Mengucapkan selamat iedul fitri dan meminta maaf pun menjadi semakin efektif dan efisien. Hanya dengan menekan keypad, permintaan maaf tersampaikan. Yang terbaru dan yang paling membuat malu, acara meminta maaf seperti itu mungkin benar-benar akan tenggelam oleh gelombang mahadahsyat trend facebook dan twitter. Hanya dengan beberapa kata maaf yang diindah-indahkan, lima ratus teman, seribu, bahkan lebih, dari seluruh penjuru dunia, akan maklum. Maklum akan kata maaf itu, entah memaafkan atau tidak, karena yang meminta maaf pun tidak diketahui tulus tidaknya.

Allah Maha Tahu.
Hati manusia, bisikan suci dan dengki jiwa, bersih tidaknya noktah hitam dalam kalbu.
Ia Maha Tahu.
Dan hanya Ia yang Maha Tahu.
Rabbana ighfir lana dzunubana. Rabbana wataqobbal du’a.

By: Faizah Abdullah
30 ramadan 1431 H / 09 September 2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Fable Kampoeng

Dalam tasbih angin menderu di suatu purnama yang bergolak. Sebuah taman yang dibangun oleh orang kota, yang katanya ia sebagai jantung, paru-paru, dan sekaligus wajah. Sebuah taman kota dengan bunga tak banyak macamnya. Sebuah taman milik kota dengan sungai buatan di dalamnya yang bahkan airnya pun tak lebih baik dari selokan. Sebuah taman di tengah kota yang baru saja menjadi saksi atas nyanyian merdu seekor katak malang kepada sosok pujaan. Dalam ribuan malam dengan bintang berjuta ia menanti. Hingga mungkin purnama pun bosan atas ratap dan tatap mata sendunya.

Seekor kupu-kupu bersayap kuning melayang rendah di antara rimbun bunga taman. Ia, yang tak terbantah indah sayapnya, tak terpungkiri anggun lakunya, mulai bermanja-manja pada harum bunga. Bermandi cahaya bulan, ia bercanda dengan lebah sang kawan, berlari dan menari dalam sebuah tatapan pemuja. Begitu tak menyadari atau pura-pura tak menyadarinya, sang kupu bernyanyi riang. Hingga lebah pun menegurnya.”Jangan terlalu keras! Nanti ada laba-laba atau katak yang datang untuk menyantap. Hari-hari seperti ini mereka sedang lapar-laparnya.”
“Ah, biar saja. Mereka pasti akan menyesal jika memakanku. Karena aku hanya akan menjadi selilit di giginya. Mereka juga pasti akan berfikir dua kali untuk memakan kita. Bukankah ada yang lebih gemuk? Hahahaha..” sang kupu menyahut.
“Kau memang tak punya takut. Asal kau tahu saja, dari tadi aku melihat seekor katak melihat kearah kita terus, lebih tepatnya ke arahmu! Saat ini ia akan merasa puas walau hanya sekedar menyantap kupu-kupu kurus dan lebah kecil sepertiku.” Oceh si lebah.
“Mengapa ia tak datang kesini saja dan segera memakan kita? Mengapa malah menunggu dan berharap kita datang menyerahkan diri padanya.” Tanyanya pada lebah yang hanya dijawab oleh gelengan kepala olehnya.

Kupu-kupu yang sejak lama diam-diam selalu bertanya-tanya atas sikap si katak kembali di buat penasaran. Hingga kini pun ia berada pada puncak rasa ingin tahunya. Maka ia terbang menuju sang empunya jawaban. Ia memang bukan sosok penakut. Ia bahkan tak peduli walau mungkin saja sebelum ia selesai dengan pertanyaannya sang katak sudah melahapnya. Seakan ia memang telah menanti saat-saat ini. Ketika ia dapat bertatap muka dengan sesosok yang selama ini ia tahu selalu memperhatikannya. Ketika ia dapat bertanya atas alasan apa ia tak segera mendatanginya dan mencincang tubuh kurusnya.

Dalam jarak tak begitu jauh, seekor katak bersila di atas batu buatan di pinggir sungai yang rupanya buatan juga. Seekor kupu-kupu bersayap kuning melayang terbang berputar-putar di atasnya hingga kemudian hinggap di pucuk daun bunga sepatu terdekat dengan batu sang katak.

“Wahai katak! Tidakkah kau lelah berlama-lama diam di tempatmu itu? Tidakkah kau ingin pergi ke tempat aku bermain dan segera menyantapku saja? Apakah dengan menatapku dari jarak yang sedemikian kau sudah cukup kenyang?” Tanya kupu-kupu dengan tak sabar atas sebuah jawaban.

Sang katak tersenyum, dan ia pun menggeleng. Kemudian ia menyahut dengan suara yang begitu dalam. “Bagaimana kabarmu , wahai peri kuning?”

“Apa yang kau lakukan ini? Kau menanyakan kabarku disaat aku begitu penasarannya dengan jawaban atas pertanyaanku tadi? Aku tak akan mempermasalahkan jika kau akan memakanku setelah kau jawab rasa ingin tahuku.” Merah padam wajah sang kupu atas apa yang dilakukan oleh si katak.

Sang katak menunduk, menghela napas panjang, untuk kemudian dengan suara lirih tapi cukup terdengar ia menjawab:
“Dengarlah wahai ratu taman, aku tak segera memakanmu memang atas inginku. Aku menggila pada puasa berjuta tahun lamanya jika hanya kau satu-satunya yang tersisa. Bahkan aku akan dengan senang hati kalaupun harus kupotong lidahku hanya agar tak memangsamu. Tapi aku memohon satu hal padamu, jangan kau larang aku untuk memandangimu dari tempatku ini dan dengan jarak yang begitu jauh ini. Agar aku tak lupa atas sebuah rasa yang kumiliki padamu. Biarkan aku mengagumimu. Izinkan aku bermain dalam hasratku padamu. Aku cukup bisa bertahan hanya dengan harapku atasmu”

Sebuah pengakuan tak pernah terduga. Sepenggal cerita dari negeri maya. Sekelumit kisah tentang rasa. Rekah rona sudut hati senandungkan irama lara.

By: Faizah Abdullah

Sebatang Pohon Keres di Pinggir Kali

Mungkin akulah saksi paling kunci diantara semua saksi kunci
Dalam peristiwa upacara kasih seorang tetangga
Dalam pertunjukan sayang seorang saudara
Saksi kunci yang benar-benar terkunci

Aku mengenal baik parang itu
Ia sahabat lamaku
Seringkali kubercanda dengannya kala merapikan ragaku
Tak kusangka, ia juga terlatih untuk menyapih sang madu

Di bawah ketiakku mereka memadu kasih
Seraya mencium kakiku mereka menyehidupmatikan cinta
Sambil memelukku mereka berjanji akan rasa yang abadi
Dengan air darah mereka siram aku dalam permusuhan

Aku mengira memang terlalu sederhana si sumpah
Atau tak berarah cinta matinya
Hingga aku pun kini ikut menderita
Tak seorang pun berkunjung sekedar menjumput merahnya buah

Ayom pelukku mungkin tak sanggup lagi dinginkan hati
Dalam gejolak amarah kala sang kasih menjumput bunga yang lebih wangi
Apalagi ditambah dengan bau basin kali
Yang sepertinya makin hari makin tak dipeduli

Aku,sebatang pohon keres di pinggir kali,
Tak pernah bersedih karena harus ditinggal sendiri
Aku bersedih karena harus menyaksikan segala yang terjadi


Sidoarjo, 17 Juli 2010,
Untuk seorang tetanggaku yang tewas dibacok oleh tetangga sekaligus saudaranya sendiri.

By: Faizah Abdullah

Negriku Negri Penuh Misteri

Negriku negri penuh misteri
Tak mungkin tampak apa yang menggeliat di dalamnya
Yang ada hanya suara-suara tak bertuan
Begitu ditakuti untuk didengar
Sehingga pura-pura tak dengar pun menjadi pilihan aman

Negriku negri rawa hisap
Segala kaya akan berubah jadi asap
Semakin ia bergolak semakin cepat ia lenyap
Maka dirasa kali ini lebih baik untuk tidak banyak nyap-nyap
Tak peduli walau kian hari jadi kian senyap

Negriku negri kaya teka-teki
Terpajang berjuta hadiah tuk mengungkap
Tapi mungkin memang lebih indah jika hanya sunyi
Sibuk oleh petunjuk menurun mendatar yang menyekap
Memasang kacamata kuda tuk sekedar menoleh pada airmata Rani

By: Faizah Abdullah

Kamis, 03 Juni 2010

Lagu Rindu untuk Ayah

Ayah,
Aku minta maaf
Begitu naif hingga melupakanmu
Dalam dalih tak mengenal
Dan tak cukup waktu kita bersama

Ayah,
Sebenarnya, aku rindu
Entah bagaimana itu adanya
Aku merindu padamu yang nyatanya kau tak banyak kutahu

Ayah,
Kata orang, dalam tiadamu kau tahu di sini aku
Maka aku akan berusaha untuk percaya itu
Agar ku merasa,
Kau selalu ada di sampingku ketika aku mewujudkan mimpi-mimpiku

Ayah,
Tak terkendali yang berkecamuk dalam kepala ini
Sesal, iri, bahkan marah

Menyesal karena melepasmu dari ingatanku
Iri untuk semua yang lebih banyak mengenalmu
Marah pada aku yang telah tak mau tahu atasmu

Ayah,
Seorang teman bertanya kepadaku
Tidakkah kurindu bermanja-manja denganmu
Kujawab tidak, ayah
Karena aku tak sempat melakukan itu dulu

Ayah,
Ayah mau kan menunggu kami di surga nanti?
Dalam harmoni men-simfoni
Aku tak ingin sendiri lagi

Ayah,
Aku sedang sakit,
Aku menangis,
Aku rindu,
Aku ingin malam ini memimpikanmu.


by. Faizah Abdullah
26 Mei 2010

Senin, 17 Mei 2010

Kepada Kawan

Aku setuju untuk tidak bergeming atas riuh angin
Maka ketika kian rapuh kuberdiri, kawan
Katakan, “adamu tak berpengaruh akan adanya.”
Maka dengan tangan siap melayang
Aku akan mengangkat yang kiri
Tuk bertopang pada kanan
Kucengkeram dunia diantara jemari kaki
Mungunduh berjuta bintang bahkan matahari
Dan kau tahu kawan?
Mereka berbinar, seperti binar yang kubawa
Mereka tersenyum, seperti senyum yang kudendangkan
Dalam tarian hari-hari cadas
Dalam senandung hati memberangas
Dan jika saat itu tiba kawan,
Duduklah bersamaku
Dalam jamuan sederhanaku
Bercandacengkerama akan sebuah masa
Kau tak pernah tinggalkanku.

By: Faizah Abdullah
Malang, 2010-05-16

Selasa, 13 April 2010

Sajak Batuta

Aku mencarinya kemana-mana
Dalam saku berlubang
Di balik topi kusam
Di antara debu berdebam

Sajak batuta_ku menghilang
Sejak longsor lalu
Kutemukan ia tertimbun dalam layu
Apa kali ini ia hanyut?
Oleh banjir bandang tak hendak surut

Kudengar riuh bayi bence disuapi induknya
Mungkinkah itu sajak batuta_ku dimakannya?
Kutengok ikan gabus tambun tampak mulutnya bernoda
Ah, akan kucincang kau
Dan kukeluarkan semua isi perutmu
Jika tak kau kembalikan sajak batuta_ku


By: Faizah Abdullah

Rabu, 31 Maret 2010

Ekspresi

Kalau prenjak berkicau pagi
Apa iya ia gembira?
Bagaimana kalau itu ratapan sedihnya?
Bagaimana kalau itu luapan tangisnya?
Bagaimana kalau itu teriakan amarahnya?

Atas ayah sayang, pergi tak kembali
Atas bunda cinta, hanyut dalam riuh pagi
Atas kasih hati, berpaling pada nuri.


By:Faizah Abdullah

Ada dan Tiada

Kembali dalam ada-ku yang lalu
Ada dalam ke-tiada-an-ku
Aku ada karena tiada-ku
Entah adakah itu?
Atau tiadakah lalu?

Apalah beda ada dan tiada
Ada ada karena ada tiada
Tiada ada karena ada ada


by: Faizah Abdullah

Mencari?

Mencari duniaku sendiri
Dalam lingkupku sendiri
Seakan aku sendiri
Dan mungkin memang sendiri

Ayolah kawan, aku mengajakmu
Orang bilang: aku butuh tolongmu
Menoleh sekejap padaku
Temukan aku dalam aku.


By: Faizah Abdullah

Kamis, 04 Maret 2010

Kembali

Bukanlah temu ini inginku
Begitu sunyi dalam riuh
Begitu semarakdalam senyap
Kau pergi dengan hanya fana tersengal
Aku datang dengan rapuhku dalam sesal
Aku meradang dalam rindu
Saat kenangan itu menyerbu

Dalam senyummu
Kau curahkan ikhlas
Dalam petunjukkmu
Kau pancarkan tegas
Dalam segala sabarmu
Kau tundukkan culas

Selamat jalan Ning,
Aku merindumu
Tapi Ia begitu sayang padamu..


by: Faizah Abdullah

In memoriam,
Ibunyai Hj. Lathifah Mahfudz.
Wafat: Rabu, 3 Maret 2010 / pukul 21.15 WIB

Song of Heaven

Seringkali kupeluk cium sang embun
Hanya tuk merasakan sejukmu
Kerapkali kubercanda pada semilir
Hanya tuk merasakan belaimu
Tak pernah lepas sandarku pada tebing
Hanya tuk teladani tegarmu
Aku ada pada sabit hingga purnama
Hanya tuk merasakan dekapanmu
Tak bercelah kulafalkan lagu rindu hanya untukmu,
Bunda..


by: Faizah Abdullah

Jumat, 26 Februari 2010

Naif
by: Faizah Abdullah

Tersembunyi rapi dalam lubaiba hati
Secuil borok atas busuknya benci
Benci pada sebuah kata 'past
Benci akan masa lalu
Benci yang seakan tak pernah rasakan indah
Walau berjuta pesona telah terrenda
Layaknya mendung hitam tutupi megahnya surya
Bukan karena begitu pedih, muram atau durja sang masa lalu
Tapi hati yang sulit memaafkan
Akan terpelesetnya kaki
Dan atau terkilirnya jemari
Maka jika kau berada di hari kemarinku
Bersiaplah menjadi bagian borok hati
Asal kau tahu
Hanya masa kini yang kuanggap ada
Karena besok atau mungkin setelah ini
Aku kan tiada

Sidoarjo,21 Feb 2010