Pages

Selasa, 21 September 2010

Menyikapi Sebuah Kehilangan

Sebuah kehilangan yang masih menurut kita bukan berarti kehilangan yang sesungguhnya. Karena manusia seringkali menganggap segala miliknya adalah benar-benar miliknya. Tak sadarkah kita bahwa kita tak memiliki apapun, bahkan diri kita sendiri. Kita hanyalah setitik debu yang diciptakan Tuhan, yang kemudian dilengkapi segala kebutuhan dan keinginannya sebagai sebuah pinjaman. Apa yang kita miliki saat ini dalah pinjaman dariNya, yang suatu saat pasti akan diambil kembali. Karena ketidaksadaran, keserakahan, dan ketidakmengertian itulah kita lebih senang untuk mengklaim apa yang ada pada diri kita saat ini sebagai milik kita dan dihasilkan oleh kita sendiri. Sehingga ketika mereka diambil atau lebih tepatnya diminta kembali,kita menganggapnya sebagai sebuah kehilangan.

Kematian, kecurian, kebangkrutan, dan lain sebagainya yang sering disebut sebagai penyebab hilangnya sesuatu dari kita menjadi sesuatu yang ditakuti. Segala macam cara di upayakan untuk menghindar dan menjauhkan diri darinya. Kita memang dituntut untuk ikhtiar menghindari sesuatu yang dapat merugikan diri kita, tapi tidak lantas melupakan pasrah dan tawakkal untuk kemudian percaya pada penjagaan Allah SWT.

Sebuah kesadaran akan muncul ketika kita menyikapi sesuatu yang menurut kita adalah sebuah kehilangan sebagai sebuah pinjaman yang diambil kembali oleh sang pemilik. Seperti halnya ketika kita meminjam buku pada seorang teman untuk kemudian pada saatnya nanti pasti akan dikembalikan.

Pernahkah kau mengira bahwa ia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Sebuah lyric dari Letto seakan mengiyakan pemahaman kita. Bahwa ketika kita menganggap sesuatu itu adalah milik kita, maka adalah sebuah kehilangan yang akan kita rasakan. Akan tetapi ketika kita menyadari bahwa tak satu pun yang ada pada kita saat ini adalah milik kita, hati akan lebih khusyuk dalam tunduk untuk berkata inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kita kembali.

by: Faizah Abdullah

Ramadan - Iedul Fitri

Sewaktu kecil dulu pak ustadz di TPQ sering bercerita tentang iedul fitri yang dinanti. Katanya, itulah saat kita sebagai manusia dikembalikan pada suatu titik suci seperti bayi yang baru lahir. Tentunya setelah dicuci , bahkan mungkin harus direndam terlebih dahulu, dalam kemurnian dan kemuliaan Ramadan. Aku pun bertanya-tanya, akankah manusia yang selama hampir setahun menghabiskan waktunya dalam kesia-siaan hidup, bahkan hampir dan mungkin sudah lupa akan hakikat kehidupan, atau mungkin juga lupa akan Penciptanya, masih diberi waktu untuk melebur dan mensucikan diri dalam Ramadan. Bahkan, manusia dalam masa yang hanya satu bulan itu pun masih enggan melepaskan angkuhnya sebagai makhluk lemah untuk segera bersujud dan tunduk pada Sang Penguasa jagat raya.

Ramadan yang dinanti, Ramadan yang dikhianati. Penantian pada Ramadan seakan hanyalah sebatas rindu pada euphoria dan gegap gempita indahnya Ramadan di waktu kecil. Sebuah saat dimana banyak orang merasa nyaman-nyaman saja bermain petasan, berbelanja, dan ngabuburit bersama kawan lama dan yang tercinta. Tentu saja dengan dalih ibadah, sedekah, dan menyemarakkan bulan berkah. Juga sebuah saat dimana suasana malam di sepanjang jalan-jalan kota makin gemerlap oleh orang-orang yang berjualan aneka makanan untuk perut, mata, bahkan nafsu. Pada saat malam itu, setelah seharian tak makan dan minum, menjadi momen balas dendam tak terampunkan. Tapi Allah al Ghofur mengampuni mereka. Allah al Rohman al Rohim begitu menyayangi mereka dan memberi kesempatan yang entah keberapa kalinya, untuk bertaubat dan kembali berpegang pada taliNya. Agar di hari esok, puasa di hari berikutnya, mereka bisa memperbaiki diri,meluruskan hati, dan membenahi jiwa untuk menyambut hari iedul fitri.

Iedul fitri berarti kembali kepada fitrah. Kembali kepada hakikat penciptaan. Kembali kepada sebuah ketundukan pada Allah al Fathir. Layaknya baju kusam yang kemudian direndam dan dicuci, manusia menjadi kembali bersih, tetapi itu berlaku jika mencucinya dengan benar-benar. Memang, saat itu manusia tak ubahnya bayi baru lahir yang begitu suci tanpa dosa. Tapi itu hanya berlaku untuk dosa-dosa pada sang Pencipta, tidak berlaku dengan dosa-dosa antar manusia. Itulah sebabnya manusia diperintahkan untuk bersilaturahim, meminta maaf dan memaafkan. Sebuah pekerjaan berat bagi pendendam, tapi sangat menyenangkan bagi pemaaf.

Iedul fitri mulia, iedul fitri penuh karunia. Sejak gema takbir dikumandangkan, suasana semarak hadir dengan semerta. Kegiatan silaturahim, maaf-maafan, dan berjabat tangan di hari lebaran kini begitu jauh terperosok dalam tema sebagai sebuah formalitas tahunan dan ajang pembuktian “gue tuh anak gaul..” dan “ih, loe jadul banget sih!”. Tentu saja dengan bumbu-bumbu saling melempar cela maki dalam selimut joke-joke tak masuk akal, bermotif abstrak yang pastinya tak begitu jelas.
Kemajuan teknologi pun rupanya juga mempengaruhi kualitas silaturahim manusia. Maaf-maafan berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya dengan segera digantikan dengan kartu ucapan selamat lebaran yang dihias dan dibentuk sedemikian rupa. Tak berlangsung lama,tradisi itu pun turun tahta seiring dengan ramainya orang menggunakan telepon genggam. Mengucapkan selamat iedul fitri dan meminta maaf pun menjadi semakin efektif dan efisien. Hanya dengan menekan keypad, permintaan maaf tersampaikan. Yang terbaru dan yang paling membuat malu, acara meminta maaf seperti itu mungkin benar-benar akan tenggelam oleh gelombang mahadahsyat trend facebook dan twitter. Hanya dengan beberapa kata maaf yang diindah-indahkan, lima ratus teman, seribu, bahkan lebih, dari seluruh penjuru dunia, akan maklum. Maklum akan kata maaf itu, entah memaafkan atau tidak, karena yang meminta maaf pun tidak diketahui tulus tidaknya.

Allah Maha Tahu.
Hati manusia, bisikan suci dan dengki jiwa, bersih tidaknya noktah hitam dalam kalbu.
Ia Maha Tahu.
Dan hanya Ia yang Maha Tahu.
Rabbana ighfir lana dzunubana. Rabbana wataqobbal du’a.

By: Faizah Abdullah
30 ramadan 1431 H / 09 September 2010