Pages

Minggu, 26 Agustus 2012

Meraba Hati

Suasana mendung seperti kali ini memang sering membuat hati seseorang ikut gelap. Apalagi mereka yang terlalu serius dan tidak suka menertawakan keadaan, akan semakin muramlah semestanya. Dalam hal ini aku tidak sedang membicarakan siapapun. Tapi itulah kesimpulan yang kuambil secara acak dari pengamatanku atas kehidupanku yang entah sudah masuk hitungan tua atau masih hijau ini.

“Aku bilang juga apa. Dari dulu sudah kuperingatkan kau ini, berhati-hatilah dengan mulutmu itu. Jangan suka menuduh sembarangan begitu !.”

Aku hanya diam termangu di dalam bilik kayuku saat Sumi mulai dengan dakwah panjangnya. Bersembunyi dalam dekap bantal kempir berbalut ulas kumal kesayangan. Entah apa sebenarnya warna ulas bantal itu dulu. Mungkin putih, atau mungkin juga ungu. Yang jelas sekarang ini warnanya krem dengan sedikit ada bercak gambar bunga berwarna ungu. Begitu sayangnya aku padanya hingga apapun suasana alamku, kuijinkan ia menjadi yang kedua yang tahu warna hatiku. Seolah akan kutemukan taman indah dengan bunga wangi berjuta di sana. Yang akan mengelus jiwa laraku saat sedih, dan akan ikut bertepuk riang saat bahagia. Seperti saat ini, kala ku merasa begitu menyesalnya atas gerak lincah sepotong daging tak bertulang dengan panjang kurang lebih sepuluh sentimeter bernama lidah.

Aku memang suka terlalu cepat mengambil kesimpulan yang kadang ternyata menjadi sangat merugikan. Aku sadar akan kebiasaan burukku. Aku sangat tahu itu. Aku pun tahu dengan sangat akan seperti apa konsekuensinya jika kulakukan lagi. Tetapi ya sudahlah. Aku merasa sudah cukup merasa bersalah. Tak usah ditambah dengan omelan tak berujung dan tak mengenal tepi seperti itu. Bukan maksudku tidak ingin mendengarkan nasehat, tapi aku ingin sejenak saja dulu melupakan rasa tak nyamanku atas apa yang telah kuperbuat.

Seharian kemarin aku uring-uringan mencari bukuku yang hilang entah kemana. Bukan saja karena buku itu adalah referensi utama tugas minggu ini, tapi juga karena di sanalah aku menyimpan surat dari abangku yang sedang merantau. Seisi kamar kuobrak-abrik tak karuan, bawah kasur, belakang lemari, hingga sudut-sudut tak tersentuh kamar pun tak luput dari mataku. Bahkan aku pun sempat marah-marah pada pak Gani yang biasa membersihkan taman depan tempat biasa aku belajar. Aku menuduhnya menyembunyikan bukuku karena tak segera dibereskan selesai belajar. Bahkan Sumi pun tak luput dari uring-uringku. Karena dia kuanggap paling tahu tentang barang-barangku selain aku sendiri.

Hingga esok paginya, kupaksa diriku mengawali hari seperti biasa. Berangkat pagi hanya dengan pisang goreng mak Yati yang kadang terasa terlalu manis di lidahku. Berjalan sok riang sembari bersenandung lirih takut menyaingi si pipit pagi. Menyapa mbah Gito yang caring di pertigaan pertama gang kost, pak Pendik di kebun dekat kuburan, dan bu Wina pemilik toko “Subur” ujung gang yang tampaknya memang benar-benar subur. Begitu asik dengan diriku sendiri hingga tak pedulikan seseorang yang tiba-tiba sudah mensejajarkan kakinya dengan langkahku.

“Mbak Naya?”, sapanya.

“Eh, sinten nggeh?”, tanyaku kaget.

“Dari tadi tak panggil-panggil, ndak semaur, sepertinya lagi sibuk sendiri. Kulo Bagus, tadi disuruh pakdhe Munir untuk ngaturaken niki”, jawabnya sembari menyerahkan bungkusan coklat dan amplop putih lecek dengan tulisan latin ruwet yang cukup kukenal.

Kecanggihan alat komunikasi saat ini tak pernah membuat ayahku tergiur tuk mencicipi. Katanya, tak ada bahagia-bahagianya membaca sms. Tak bisa membaca secara langsung tulisan tangan si pengirim. Maka jadilah aku, yang meskipun juga memanfaatkan telepon genggam, masih sering bertandang ke kantor pos terdekat. Tapi kali ini aku cukup terkejut dengan surat bapak. Tidak biasanya datang di awal bulan seperti ini. Padahal dua hari yang lalu aku pulang. Apalagi dengan menyuruh si Bagus untuk menyampaikannya, seingatku kantor pos tidak ada jadwal libur minggu ini. Segera setelah sampai di kelas aku membukanya.

Teruntuk ananda:
Naya Kamila Munir
Di bumi rantau

Assalamualaikum.

Nduk ayu, piye kabarmu? Semoga selalu diberi sehat sama Yang Maha Kuasa. Ahamdulillah bapak lan ibu sehat wal afiat. Piye ujianmu? Semoga diparingi lancar. Ojo nganti waleh lan males nyuwun maring Gusti kang akarya jagat. Sedione bapak nulis surat ini mau mengirimkan bukumu yang ketinggalan di rumah supaya sampean gak perlu pulang ngambil. Sing ati-ati njaga ati. Mugi Gusti Pengeran paring sehat sedaya. Amien.

Nduk ayu,
Salam rindu bapak, ibu, dan keluarga

Wassalamualaikum.


Bungkusan coklat itupun segera kubuka, sebuah buku, lengkap dengan sepucuk surat dari abangku di dalamnya. Semerta aku tertegun. Begitu ceroboh. Begitu tak mampu mengendalikan diriku sendiri.

Segera aku menoleh pada Sumi yang duduk disampingku, “maaf ya,” kataku.
“minta maaflah pada pak Gani,” sahut Sumi.

“tidak perlulah,” jawabku sekenanya.

“Aku rasa kau mulai keterlaluan akhir-akhir ini, Nay. Kau tahu saat seperti ini kau tidak bisa begitu saja melepas tangan. Kau harus berani menunjukkan warna mukamu dan bertanggung jawab. Segeralah minta maaf sana!” Lanjut Sumi dalam khotbahnya.

Entahlah, semakin tua aku semakin lelah untuk menyiapkan hati. Sering kali terlintas dalam benakku adalah untuk lari dan kemudian segera berusaha melupakannya. Berharap segalanya akan segera berlalu. Dari dulu yang kuangankan dalam setiap harapku adalah kemustahilan yang lahir dari negeri sakura dalam kartun fenomenal Doraemon. Ya, aku ingin punya kantong ajaib Doraemon. Kala aku tak terkendali telah menyakiti hati seseorang, aku memiliki mesin pencipta gembira untuknya. Disaat aku begitu mudahnya berbuat sesukaku hingga di kemudian hari tak mampu lagi kumemaafkan diriku sendiri, aku memiliki mesin penghapus memori. Dan ketika suatu masa aku sangat merindukan keluargaku atau mungin siapapun itu dalam keterbatasanku untuk segera bertemu, aku memiliki pintu ajaib. Aku dapat menciptakan bahagia bagi orang lain, sebagaimana akan kudapatkan damai dalam hati.

Tapi itu hanyalah angan, dan selamanya akan hanya sebatas itu. Aku sadar sepenuhnya tak mungkin kudapatkan itu semua. Tak ada bahagia tercipta dari sebentuk mesin khayalan. Segalanya harus melalui proses panjang usaha manusia. Aku percaya itu walau seringkali aku pun mengingkarinya. Manusia membutuhkan sebuah tempat untuk bernaung dari rasa sedih, takut, malu, marah, bahkan bahagianya. Ada yang mendapatkan naungan di arah yang benar yakni berserah pada Yang Maha Kuasa. Adapula yang berlari jauh kepada sesuatu yang lebih dekat dengannya. Sebuah naungan yang tercipta dari lamunan dan angannya sendiri. Sebagai sebuah pengakuan atas ketidakmampuannya meraih keberanian untuk sesuatu yang lebih abadi.

Aku merasa tidak sepenuhnya menghindarkan diri dari berani. Hidup merantau seperti ini pun karena aku berani. Berani melawan kehendak adat kuno ditengah dunia modern seperti ini. Berani menerima tantangan emak dan abah untuk selalu mendapatkan nilai terbaik sebagai kompensasi atas sebuah perlawanan untuk sebentuk kemegahan ukiran cita. Aku memang hidup di jaman yang serba modern, tapi aku tinggal di lingkungan dursetut pemuja adat istiadat beratus tahun yang lalu. Di desaku, anak gadis tak perlu sekolah tinggi, cukup sebatas wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah saja. Bahkan kalau perlu tak usah menuruti cara hidup yang ditentukan pemerintah. Cukup dengan menuruti apa kata mbah-mbah terdahulu, toh mereka lebih banyak memiliki pengalaman hidup sebagai manusia daripada tuan-tuan di pemerintahan.

Dan di sinilah, di perantauan ini, kutemukan seorang sahabat dalam temaram senjanya dunia. Sumi seorang yang baik, selalu tanggap akan apa yang terjadi. Ia seorang sahabat yang sempurna, mau meluangkan waktu untuk mendengar dan menasehati walau lebih sering nasehatnya bernada omelan. Sumi memang wanita biasa, tapi ia seorang penyayang yang luar biasa. Segala yang terjadi di dini usianya telah membentuk sosok kokoh penuh kharisma. Seringkali aku dibuat kagum sekaligus malu padanya. Sesuatu yang menurutku sebuah ketidakadilan harus menimpanya. Bagaimana Sumiku dibenci oleh dunianya hanya karena ia putri seorang mantan dukun di desanya. Sang dukun yang ternyata “bisa” sakit pun akhirnya pergi. Meninggalkan seorang istri dan putri semata wayangnya yang masih berusia lima tahun. Nasib buruk seakan tak ingin segera melepaskan diri dari hidup Sumi. Ibunya kemudian menyusul sang belahan jiwa ke alam sana. Ia pun tinggal dengan satu-satunya kerabat yang dimilikinya. Seorang bibi luar biasa cerewet tapi lumayan baik hati karena berkenan menyekolahkannya hingga kini. Tak cukup itu, lelaki yang pernah dicintainya saat ia mulai mengenal cinta pun hanya bertahan hingga sapi brama warisan sang ayah miliknya berpindah tangan pada tengkulak di pasar hewan. Sumiku sayang, Sumiku malang, tak sepeser pun hasil penjualan itu masuk dompet kain berwana abu-abu miliknya. Tapi di sanalah dia berdiri kini, sebagai gadis kuat tak gentar oleh apapun jua. Segala riwayat hidupnya mengajarkannya semua akan getir manis kehidupan. Mengajarkannya bahwa satu hal yang paling pasti dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian itu sendiri.

Dan akhirnya di sinilah aku, Naya Kamila. Seorang mahasiswi semester tiga yang masih saja belajar meraba. Meraba cermin diri, meraba hati sendiri, meraba jiwa untuk mandiri.


يَارَبِّ يَاخَيْرَ كَافِى أُحْلُلُ عَلَيْنَاالْعَوَافِى
فَلَيْسَ شَيْئٌ ثَمَّ خَافِى عَلَيْكَ تَفْصِيْلٌ وَإِجْمَالْ
يَارَبِّ عَبْدُكْ بِبَابِكْ يَخْشَى أَلِيْمَ عَذَابِكْ
وَيَرْتَجِى لِثَوَابِكْ وَغَيْثُ رَحْمَتِكْ هَطَّالْ


Senin, 06 Agustus 2012

Hikayat dari Kaki Gunung Puri

*Dongeng Sebelum Tidur 2

Dahulu kala, dikisahkan ada sebuah desa kecil di kaki gunung Puri. Desa itu begitu istimewa hingga siapapun yang melihatnya semerta akan terpesona dan terkagum. Keindahannya tidak saja berasal dari paduan warna-warni bunganya, akan tetapi juga berasal dari sebuah keajaiban yang terjadi setiap harinya. Sebuah keajaiban yang tidak terjadi di desa-desa yang lain. Sebuah keajaiban sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa. Setiap warganya hidup dalam kesejahteraan senantiasa.

Konon, penduduk desa ini berasal dari satu keturunan yang sama, pasangan suami istri yang sangat taat beribadah. Pasangan suami istri ini hingga usia senjanya belum juga dianugerahi seorang anak. Mereka pun kian giat beribadah memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar segera dikabulkan permohonannya. Akhirnya setelah bertahun-tahun berdoa dan berusaha, pasangan ini pun dianugerahi dua bayi kembar lelaki dan perempuan. Bahagialah suami istri tersebut dan mereka pun semakin giat bersujud beribadah kepada yang Maha Kuasa sebagai ungkapan rasa syukur.

Karena ketaatan pasangan itu Tuhan pun kembali memberi mereka kenikmatan yang sangat besar. Setiap harinya, saat matahari terbit, datanglah seekor burung besar dengan membawa berbagai macam makanan yang sangat lezat untuk sarapan mereka. Begitu juga saat matahari sedang berada di atas kepala dan akan tenggelam. Burung besar itu datang membawa makanan tiga kali dalam sehari. Mereka pun semakin bergembira dan tak henti-hentinya bersyukur. Setiap waktu setelah memandikan dan memberi makan anak-anaknya, mereka kembali beribadah dan bersujud. Hingga tanpa disadari, mereka telah melakukan satu kesalahan besar yang akan berakibat fatal. Mereka lupa akan satu hal, yaitu mengajari anak-anaknya untuk ikut rajin bersyukur dan beribadah. Selama ini anak-anak yang dulu sangat diidamkannya itu hanya tahu bahwa semua makanan akan siap saat matahari terbit, di atas kepala, dan saat akan tenggelam. Anak-anak itu hanya tahu caranya bermain dan menikmati hidup. Mereka tidak pernah diajak untuk ikut bersimpuh dan bersujud dalam syukur atas kurnia Tuhan.

Hingga pada suatu hari, saat mereka kian renta, saat kedua putra-putrinya telah memberi mereka cucu-cucu yang lucu, pasangan suai istri itu pun meninggal.
Hari demi hari, tahun demi tahun keturunan pasangan suami istri itu pun semakin banyak dan mendiami setiap pelosok desa itu. Mereka enggan untuk pergi jauh dari tempat itu, karena itu berarti mereka harus mencari makanan dan penghidupan sendiri. Sedangkan, di desa itu, burung besar pembawa makanan masih senantiasa datang. Tidak hanya cukup untuk satu dua orang saja, akan tetapi untuk seluruh penduduk desa. Penduduk desa yang menjadi terbiasa dengan gaya hidup yang manja itu pun menjadi semakin bermalas-malasan. Tidak ada lagi yang pergi keluar rumah untuk bekerja, bahkan tidak pernah ada lagi yang bersimpuh bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Mereka menjadi terbiasa dengan segala kemudahan yang ada. Semakin hari mereka semakin bergantung dan berharap pada sang burung besar pembawa makanan. Bahkan mereka pun mulai memuja-muja, menyembah-nyembah, dan mengagung-agungkan sang burung besar pembawa makanan. Mereka lupa, mereka lalai, bahwa burung itu datang atas perintah Tuhannya, Tuhan mereka, Allah yang Maha kuasa, sebagai ujian untuk keimanan mereka.

Hingga, tibalah saat itu, saat ketika burung itu berhenti datang. Sehari, seminggu, sebulan, hingga bertahun-tahun dan selamanya. Akhirnya, penduduk yang lalai itupun menghilang tak berbekas. Mati dalam kelaparan mereka. Mati dalam kelalaian mereka. Mati dalam kekufuran mereka.


Refleksi sederhana, An-Nahl: 112


And Allah presents an example: a city which was safe and secure, its provision coming to it in abundance from every location, but it denied the favors of Allah . So Allah made it taste the envelopment of hunger and fear for what they had been doing.


Sidoarjo, 7 Agustus 2012