Pages

Senin, 06 Agustus 2012

Hikayat dari Kaki Gunung Puri

*Dongeng Sebelum Tidur 2

Dahulu kala, dikisahkan ada sebuah desa kecil di kaki gunung Puri. Desa itu begitu istimewa hingga siapapun yang melihatnya semerta akan terpesona dan terkagum. Keindahannya tidak saja berasal dari paduan warna-warni bunganya, akan tetapi juga berasal dari sebuah keajaiban yang terjadi setiap harinya. Sebuah keajaiban yang tidak terjadi di desa-desa yang lain. Sebuah keajaiban sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa. Setiap warganya hidup dalam kesejahteraan senantiasa.

Konon, penduduk desa ini berasal dari satu keturunan yang sama, pasangan suami istri yang sangat taat beribadah. Pasangan suami istri ini hingga usia senjanya belum juga dianugerahi seorang anak. Mereka pun kian giat beribadah memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar segera dikabulkan permohonannya. Akhirnya setelah bertahun-tahun berdoa dan berusaha, pasangan ini pun dianugerahi dua bayi kembar lelaki dan perempuan. Bahagialah suami istri tersebut dan mereka pun semakin giat bersujud beribadah kepada yang Maha Kuasa sebagai ungkapan rasa syukur.

Karena ketaatan pasangan itu Tuhan pun kembali memberi mereka kenikmatan yang sangat besar. Setiap harinya, saat matahari terbit, datanglah seekor burung besar dengan membawa berbagai macam makanan yang sangat lezat untuk sarapan mereka. Begitu juga saat matahari sedang berada di atas kepala dan akan tenggelam. Burung besar itu datang membawa makanan tiga kali dalam sehari. Mereka pun semakin bergembira dan tak henti-hentinya bersyukur. Setiap waktu setelah memandikan dan memberi makan anak-anaknya, mereka kembali beribadah dan bersujud. Hingga tanpa disadari, mereka telah melakukan satu kesalahan besar yang akan berakibat fatal. Mereka lupa akan satu hal, yaitu mengajari anak-anaknya untuk ikut rajin bersyukur dan beribadah. Selama ini anak-anak yang dulu sangat diidamkannya itu hanya tahu bahwa semua makanan akan siap saat matahari terbit, di atas kepala, dan saat akan tenggelam. Anak-anak itu hanya tahu caranya bermain dan menikmati hidup. Mereka tidak pernah diajak untuk ikut bersimpuh dan bersujud dalam syukur atas kurnia Tuhan.

Hingga pada suatu hari, saat mereka kian renta, saat kedua putra-putrinya telah memberi mereka cucu-cucu yang lucu, pasangan suai istri itu pun meninggal.
Hari demi hari, tahun demi tahun keturunan pasangan suami istri itu pun semakin banyak dan mendiami setiap pelosok desa itu. Mereka enggan untuk pergi jauh dari tempat itu, karena itu berarti mereka harus mencari makanan dan penghidupan sendiri. Sedangkan, di desa itu, burung besar pembawa makanan masih senantiasa datang. Tidak hanya cukup untuk satu dua orang saja, akan tetapi untuk seluruh penduduk desa. Penduduk desa yang menjadi terbiasa dengan gaya hidup yang manja itu pun menjadi semakin bermalas-malasan. Tidak ada lagi yang pergi keluar rumah untuk bekerja, bahkan tidak pernah ada lagi yang bersimpuh bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Mereka menjadi terbiasa dengan segala kemudahan yang ada. Semakin hari mereka semakin bergantung dan berharap pada sang burung besar pembawa makanan. Bahkan mereka pun mulai memuja-muja, menyembah-nyembah, dan mengagung-agungkan sang burung besar pembawa makanan. Mereka lupa, mereka lalai, bahwa burung itu datang atas perintah Tuhannya, Tuhan mereka, Allah yang Maha kuasa, sebagai ujian untuk keimanan mereka.

Hingga, tibalah saat itu, saat ketika burung itu berhenti datang. Sehari, seminggu, sebulan, hingga bertahun-tahun dan selamanya. Akhirnya, penduduk yang lalai itupun menghilang tak berbekas. Mati dalam kelaparan mereka. Mati dalam kelalaian mereka. Mati dalam kekufuran mereka.


Refleksi sederhana, An-Nahl: 112


And Allah presents an example: a city which was safe and secure, its provision coming to it in abundance from every location, but it denied the favors of Allah . So Allah made it taste the envelopment of hunger and fear for what they had been doing.


Sidoarjo, 7 Agustus 2012

0 comments:

Posting Komentar