Pages

Senin, 05 November 2012

Dunyo Karang Abang

Karang abang, Gusti, dunyo karang abang
Terengah-engah hari ini teh pagiku bertutur
Kala kusandingkan dengan koran penuh luka oleh bara
Tentang mencekamnya hari saat siang, tentang kelamnya hari walau penuh cahaya
Tentang senjata-senjata tak punya mata
Tentang mata-mata merah penuh amarah
Tentang adu kuat institusi, gengsi, arogansi, hingga harga diri

Karang abang, Gusti, dunyo karang abang
Berbusa-busa hari ini roti pagiku bercerita
Kala kuletakkan di depan televisi beritakan bara
Tentang percikan api dari kabel-kabel mengular semrawut
Tentang luapan air oleh sampah tak mau diatur
Tentang longsor, gunung meletus, angin badai, yang seraya kompak mendera menyerbu
Tentang tangan yang tak menuruti kata sang hati, atau hati yang menurut saja bisikan nafsu

Karang abang, Gusti, dunyo karang abang
Bercucuran pagi ini keringat kenari kecilku berkisah
Kala kubiarkan ia terbang mencari warta akan bara
Tentang kutil-mengutil proyek panas
Tentang kongkalikong harga beras
Tentang pertarungan seru suku, agama, dan ras
Tentang si anu yang gemar bobol uang kas

Karang abang, Gusti, dunyo karang abang
Negeri ini, Gusti, sedang dicekik lintah
Lintah-lintah raksasa yang tak hanya menghisap darah, tetapi bahkan seluruh kehidupan
Uang rakyat dianggap sebagai upeti
Moral bangsa diputar-putar layaknya dadu di meja judi
Masa depan anak-anaknya diserahkan saja pada kehendak globalisasi
Apalagi segala tetek bengek suku, agama, dan ras hanya akan dihargai sebagai barang komoditi
Persetan dengan persatuan
Persetan dengan budaya
Persetan dengan moral
Persetan dengan Negara
Persetan dengan harga diri

Inilah karang abang, Gusti, dunyo karang abang..

Sidoarjo, 4 Nopember 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Meraba Hati

Suasana mendung seperti kali ini memang sering membuat hati seseorang ikut gelap. Apalagi mereka yang terlalu serius dan tidak suka menertawakan keadaan, akan semakin muramlah semestanya. Dalam hal ini aku tidak sedang membicarakan siapapun. Tapi itulah kesimpulan yang kuambil secara acak dari pengamatanku atas kehidupanku yang entah sudah masuk hitungan tua atau masih hijau ini.

“Aku bilang juga apa. Dari dulu sudah kuperingatkan kau ini, berhati-hatilah dengan mulutmu itu. Jangan suka menuduh sembarangan begitu !.”

Aku hanya diam termangu di dalam bilik kayuku saat Sumi mulai dengan dakwah panjangnya. Bersembunyi dalam dekap bantal kempir berbalut ulas kumal kesayangan. Entah apa sebenarnya warna ulas bantal itu dulu. Mungkin putih, atau mungkin juga ungu. Yang jelas sekarang ini warnanya krem dengan sedikit ada bercak gambar bunga berwarna ungu. Begitu sayangnya aku padanya hingga apapun suasana alamku, kuijinkan ia menjadi yang kedua yang tahu warna hatiku. Seolah akan kutemukan taman indah dengan bunga wangi berjuta di sana. Yang akan mengelus jiwa laraku saat sedih, dan akan ikut bertepuk riang saat bahagia. Seperti saat ini, kala ku merasa begitu menyesalnya atas gerak lincah sepotong daging tak bertulang dengan panjang kurang lebih sepuluh sentimeter bernama lidah.

Aku memang suka terlalu cepat mengambil kesimpulan yang kadang ternyata menjadi sangat merugikan. Aku sadar akan kebiasaan burukku. Aku sangat tahu itu. Aku pun tahu dengan sangat akan seperti apa konsekuensinya jika kulakukan lagi. Tetapi ya sudahlah. Aku merasa sudah cukup merasa bersalah. Tak usah ditambah dengan omelan tak berujung dan tak mengenal tepi seperti itu. Bukan maksudku tidak ingin mendengarkan nasehat, tapi aku ingin sejenak saja dulu melupakan rasa tak nyamanku atas apa yang telah kuperbuat.

Seharian kemarin aku uring-uringan mencari bukuku yang hilang entah kemana. Bukan saja karena buku itu adalah referensi utama tugas minggu ini, tapi juga karena di sanalah aku menyimpan surat dari abangku yang sedang merantau. Seisi kamar kuobrak-abrik tak karuan, bawah kasur, belakang lemari, hingga sudut-sudut tak tersentuh kamar pun tak luput dari mataku. Bahkan aku pun sempat marah-marah pada pak Gani yang biasa membersihkan taman depan tempat biasa aku belajar. Aku menuduhnya menyembunyikan bukuku karena tak segera dibereskan selesai belajar. Bahkan Sumi pun tak luput dari uring-uringku. Karena dia kuanggap paling tahu tentang barang-barangku selain aku sendiri.

Hingga esok paginya, kupaksa diriku mengawali hari seperti biasa. Berangkat pagi hanya dengan pisang goreng mak Yati yang kadang terasa terlalu manis di lidahku. Berjalan sok riang sembari bersenandung lirih takut menyaingi si pipit pagi. Menyapa mbah Gito yang caring di pertigaan pertama gang kost, pak Pendik di kebun dekat kuburan, dan bu Wina pemilik toko “Subur” ujung gang yang tampaknya memang benar-benar subur. Begitu asik dengan diriku sendiri hingga tak pedulikan seseorang yang tiba-tiba sudah mensejajarkan kakinya dengan langkahku.

“Mbak Naya?”, sapanya.

“Eh, sinten nggeh?”, tanyaku kaget.

“Dari tadi tak panggil-panggil, ndak semaur, sepertinya lagi sibuk sendiri. Kulo Bagus, tadi disuruh pakdhe Munir untuk ngaturaken niki”, jawabnya sembari menyerahkan bungkusan coklat dan amplop putih lecek dengan tulisan latin ruwet yang cukup kukenal.

Kecanggihan alat komunikasi saat ini tak pernah membuat ayahku tergiur tuk mencicipi. Katanya, tak ada bahagia-bahagianya membaca sms. Tak bisa membaca secara langsung tulisan tangan si pengirim. Maka jadilah aku, yang meskipun juga memanfaatkan telepon genggam, masih sering bertandang ke kantor pos terdekat. Tapi kali ini aku cukup terkejut dengan surat bapak. Tidak biasanya datang di awal bulan seperti ini. Padahal dua hari yang lalu aku pulang. Apalagi dengan menyuruh si Bagus untuk menyampaikannya, seingatku kantor pos tidak ada jadwal libur minggu ini. Segera setelah sampai di kelas aku membukanya.

Teruntuk ananda:
Naya Kamila Munir
Di bumi rantau

Assalamualaikum.

Nduk ayu, piye kabarmu? Semoga selalu diberi sehat sama Yang Maha Kuasa. Ahamdulillah bapak lan ibu sehat wal afiat. Piye ujianmu? Semoga diparingi lancar. Ojo nganti waleh lan males nyuwun maring Gusti kang akarya jagat. Sedione bapak nulis surat ini mau mengirimkan bukumu yang ketinggalan di rumah supaya sampean gak perlu pulang ngambil. Sing ati-ati njaga ati. Mugi Gusti Pengeran paring sehat sedaya. Amien.

Nduk ayu,
Salam rindu bapak, ibu, dan keluarga

Wassalamualaikum.


Bungkusan coklat itupun segera kubuka, sebuah buku, lengkap dengan sepucuk surat dari abangku di dalamnya. Semerta aku tertegun. Begitu ceroboh. Begitu tak mampu mengendalikan diriku sendiri.

Segera aku menoleh pada Sumi yang duduk disampingku, “maaf ya,” kataku.
“minta maaflah pada pak Gani,” sahut Sumi.

“tidak perlulah,” jawabku sekenanya.

“Aku rasa kau mulai keterlaluan akhir-akhir ini, Nay. Kau tahu saat seperti ini kau tidak bisa begitu saja melepas tangan. Kau harus berani menunjukkan warna mukamu dan bertanggung jawab. Segeralah minta maaf sana!” Lanjut Sumi dalam khotbahnya.

Entahlah, semakin tua aku semakin lelah untuk menyiapkan hati. Sering kali terlintas dalam benakku adalah untuk lari dan kemudian segera berusaha melupakannya. Berharap segalanya akan segera berlalu. Dari dulu yang kuangankan dalam setiap harapku adalah kemustahilan yang lahir dari negeri sakura dalam kartun fenomenal Doraemon. Ya, aku ingin punya kantong ajaib Doraemon. Kala aku tak terkendali telah menyakiti hati seseorang, aku memiliki mesin pencipta gembira untuknya. Disaat aku begitu mudahnya berbuat sesukaku hingga di kemudian hari tak mampu lagi kumemaafkan diriku sendiri, aku memiliki mesin penghapus memori. Dan ketika suatu masa aku sangat merindukan keluargaku atau mungin siapapun itu dalam keterbatasanku untuk segera bertemu, aku memiliki pintu ajaib. Aku dapat menciptakan bahagia bagi orang lain, sebagaimana akan kudapatkan damai dalam hati.

Tapi itu hanyalah angan, dan selamanya akan hanya sebatas itu. Aku sadar sepenuhnya tak mungkin kudapatkan itu semua. Tak ada bahagia tercipta dari sebentuk mesin khayalan. Segalanya harus melalui proses panjang usaha manusia. Aku percaya itu walau seringkali aku pun mengingkarinya. Manusia membutuhkan sebuah tempat untuk bernaung dari rasa sedih, takut, malu, marah, bahkan bahagianya. Ada yang mendapatkan naungan di arah yang benar yakni berserah pada Yang Maha Kuasa. Adapula yang berlari jauh kepada sesuatu yang lebih dekat dengannya. Sebuah naungan yang tercipta dari lamunan dan angannya sendiri. Sebagai sebuah pengakuan atas ketidakmampuannya meraih keberanian untuk sesuatu yang lebih abadi.

Aku merasa tidak sepenuhnya menghindarkan diri dari berani. Hidup merantau seperti ini pun karena aku berani. Berani melawan kehendak adat kuno ditengah dunia modern seperti ini. Berani menerima tantangan emak dan abah untuk selalu mendapatkan nilai terbaik sebagai kompensasi atas sebuah perlawanan untuk sebentuk kemegahan ukiran cita. Aku memang hidup di jaman yang serba modern, tapi aku tinggal di lingkungan dursetut pemuja adat istiadat beratus tahun yang lalu. Di desaku, anak gadis tak perlu sekolah tinggi, cukup sebatas wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah saja. Bahkan kalau perlu tak usah menuruti cara hidup yang ditentukan pemerintah. Cukup dengan menuruti apa kata mbah-mbah terdahulu, toh mereka lebih banyak memiliki pengalaman hidup sebagai manusia daripada tuan-tuan di pemerintahan.

Dan di sinilah, di perantauan ini, kutemukan seorang sahabat dalam temaram senjanya dunia. Sumi seorang yang baik, selalu tanggap akan apa yang terjadi. Ia seorang sahabat yang sempurna, mau meluangkan waktu untuk mendengar dan menasehati walau lebih sering nasehatnya bernada omelan. Sumi memang wanita biasa, tapi ia seorang penyayang yang luar biasa. Segala yang terjadi di dini usianya telah membentuk sosok kokoh penuh kharisma. Seringkali aku dibuat kagum sekaligus malu padanya. Sesuatu yang menurutku sebuah ketidakadilan harus menimpanya. Bagaimana Sumiku dibenci oleh dunianya hanya karena ia putri seorang mantan dukun di desanya. Sang dukun yang ternyata “bisa” sakit pun akhirnya pergi. Meninggalkan seorang istri dan putri semata wayangnya yang masih berusia lima tahun. Nasib buruk seakan tak ingin segera melepaskan diri dari hidup Sumi. Ibunya kemudian menyusul sang belahan jiwa ke alam sana. Ia pun tinggal dengan satu-satunya kerabat yang dimilikinya. Seorang bibi luar biasa cerewet tapi lumayan baik hati karena berkenan menyekolahkannya hingga kini. Tak cukup itu, lelaki yang pernah dicintainya saat ia mulai mengenal cinta pun hanya bertahan hingga sapi brama warisan sang ayah miliknya berpindah tangan pada tengkulak di pasar hewan. Sumiku sayang, Sumiku malang, tak sepeser pun hasil penjualan itu masuk dompet kain berwana abu-abu miliknya. Tapi di sanalah dia berdiri kini, sebagai gadis kuat tak gentar oleh apapun jua. Segala riwayat hidupnya mengajarkannya semua akan getir manis kehidupan. Mengajarkannya bahwa satu hal yang paling pasti dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian itu sendiri.

Dan akhirnya di sinilah aku, Naya Kamila. Seorang mahasiswi semester tiga yang masih saja belajar meraba. Meraba cermin diri, meraba hati sendiri, meraba jiwa untuk mandiri.


يَارَبِّ يَاخَيْرَ كَافِى أُحْلُلُ عَلَيْنَاالْعَوَافِى
فَلَيْسَ شَيْئٌ ثَمَّ خَافِى عَلَيْكَ تَفْصِيْلٌ وَإِجْمَالْ
يَارَبِّ عَبْدُكْ بِبَابِكْ يَخْشَى أَلِيْمَ عَذَابِكْ
وَيَرْتَجِى لِثَوَابِكْ وَغَيْثُ رَحْمَتِكْ هَطَّالْ


Senin, 06 Agustus 2012

Hikayat dari Kaki Gunung Puri

*Dongeng Sebelum Tidur 2

Dahulu kala, dikisahkan ada sebuah desa kecil di kaki gunung Puri. Desa itu begitu istimewa hingga siapapun yang melihatnya semerta akan terpesona dan terkagum. Keindahannya tidak saja berasal dari paduan warna-warni bunganya, akan tetapi juga berasal dari sebuah keajaiban yang terjadi setiap harinya. Sebuah keajaiban yang tidak terjadi di desa-desa yang lain. Sebuah keajaiban sebagai rahmat dari yang Maha Kuasa. Setiap warganya hidup dalam kesejahteraan senantiasa.

Konon, penduduk desa ini berasal dari satu keturunan yang sama, pasangan suami istri yang sangat taat beribadah. Pasangan suami istri ini hingga usia senjanya belum juga dianugerahi seorang anak. Mereka pun kian giat beribadah memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar segera dikabulkan permohonannya. Akhirnya setelah bertahun-tahun berdoa dan berusaha, pasangan ini pun dianugerahi dua bayi kembar lelaki dan perempuan. Bahagialah suami istri tersebut dan mereka pun semakin giat bersujud beribadah kepada yang Maha Kuasa sebagai ungkapan rasa syukur.

Karena ketaatan pasangan itu Tuhan pun kembali memberi mereka kenikmatan yang sangat besar. Setiap harinya, saat matahari terbit, datanglah seekor burung besar dengan membawa berbagai macam makanan yang sangat lezat untuk sarapan mereka. Begitu juga saat matahari sedang berada di atas kepala dan akan tenggelam. Burung besar itu datang membawa makanan tiga kali dalam sehari. Mereka pun semakin bergembira dan tak henti-hentinya bersyukur. Setiap waktu setelah memandikan dan memberi makan anak-anaknya, mereka kembali beribadah dan bersujud. Hingga tanpa disadari, mereka telah melakukan satu kesalahan besar yang akan berakibat fatal. Mereka lupa akan satu hal, yaitu mengajari anak-anaknya untuk ikut rajin bersyukur dan beribadah. Selama ini anak-anak yang dulu sangat diidamkannya itu hanya tahu bahwa semua makanan akan siap saat matahari terbit, di atas kepala, dan saat akan tenggelam. Anak-anak itu hanya tahu caranya bermain dan menikmati hidup. Mereka tidak pernah diajak untuk ikut bersimpuh dan bersujud dalam syukur atas kurnia Tuhan.

Hingga pada suatu hari, saat mereka kian renta, saat kedua putra-putrinya telah memberi mereka cucu-cucu yang lucu, pasangan suai istri itu pun meninggal.
Hari demi hari, tahun demi tahun keturunan pasangan suami istri itu pun semakin banyak dan mendiami setiap pelosok desa itu. Mereka enggan untuk pergi jauh dari tempat itu, karena itu berarti mereka harus mencari makanan dan penghidupan sendiri. Sedangkan, di desa itu, burung besar pembawa makanan masih senantiasa datang. Tidak hanya cukup untuk satu dua orang saja, akan tetapi untuk seluruh penduduk desa. Penduduk desa yang menjadi terbiasa dengan gaya hidup yang manja itu pun menjadi semakin bermalas-malasan. Tidak ada lagi yang pergi keluar rumah untuk bekerja, bahkan tidak pernah ada lagi yang bersimpuh bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Mereka menjadi terbiasa dengan segala kemudahan yang ada. Semakin hari mereka semakin bergantung dan berharap pada sang burung besar pembawa makanan. Bahkan mereka pun mulai memuja-muja, menyembah-nyembah, dan mengagung-agungkan sang burung besar pembawa makanan. Mereka lupa, mereka lalai, bahwa burung itu datang atas perintah Tuhannya, Tuhan mereka, Allah yang Maha kuasa, sebagai ujian untuk keimanan mereka.

Hingga, tibalah saat itu, saat ketika burung itu berhenti datang. Sehari, seminggu, sebulan, hingga bertahun-tahun dan selamanya. Akhirnya, penduduk yang lalai itupun menghilang tak berbekas. Mati dalam kelaparan mereka. Mati dalam kelalaian mereka. Mati dalam kekufuran mereka.


Refleksi sederhana, An-Nahl: 112


And Allah presents an example: a city which was safe and secure, its provision coming to it in abundance from every location, but it denied the favors of Allah . So Allah made it taste the envelopment of hunger and fear for what they had been doing.


Sidoarjo, 7 Agustus 2012

Kamis, 26 Juli 2012

Legenda Tikus Berdasi

*Dongeng Sebelum Tidur 1

Dikisahkan, pada jaman dahulu kala ada sebuah negeri antah berantah yang sangat dikenal dengan keelokan alaminya. Sebut saja negeri Z. Negeri dengan hamparan dataran hijau nan subur yang sangat luas. Negeri dengan bentangan lautan biru yang seakan tak ada ujungnya. Berjuta-juta jenis tanaman yang ditanam atau ditancapkan saja pada buminya dapat tumbuh disini. Berjuta-juta macam ikan dapat dengan leluasa hidup dan berkembangbiak di airnya. Hewan apapun yang ada di hutan-hutan dan di daratannya akan dengan senang hati turut menjaga kelestarian. Sejauh mata memandang adalah hamparan hijau dan biru. Penduduknya pun hidup selaras dan sehati dengan alam di sekitarnya. Saling memberi dan menerima, hormat-menghormati, dan saling mengasihi. Mereka hidup dalam sebuah ajaran untuk kehidupan yang arif, kehidupan yang damai. Sebuah kekayaan dan kearifan negeri yang ternyata menimbulkan kedengkian di hati para tetangganya.

Para tetangga yang iri dengan kekayaan alami negeri itupun akhirnya berkumpul dan berembug. Satu sama lain saling mengemukakan kedengkian masing-masing terhadap negeri itu. Mengapa pohon A tidak bisa tumbuh di tanah B tapi bisa tumbuh subur di tanah Z. Mengapa buah C tak semanis bila ditanam di tanah Z. Mengapa hewan B tak ditemukan di tanah C malah berkembang biak dengan pesat di tanah Z. Mengapa ini, mengapa itu, dan lain sebagainya.

Kemudian, dalam keriuhan perkumpulan itu berdirilah seorang tua di antara mereka, seorang pemimpin dari negeri H, sebuah negeri yang terletak di sebelah barat negeri Z. Dengan penuh wibawa, orang itu menenangkan keriuhan dan mulai berkata, “Sahabat-sahabatku para pemimpin negeri, hari ini kita berkumpul di sini bukanlah untuk saling memperdengarkan keluhan-keluhan atas negeri kalian masing-masing, bukan pula untuk saling menceritakan kedengkian masing-masing, kita berkumpul di sini adalah untuk mencari titik tengah dan untuk mencari kesepakatan bersama atas sebuah solusi agar kekayaan negeri Z segera menjadi milik kita bersama. Negeri Z itu sudah terlampau lama menikmati kekayaan negerinya sendiri. Bukan salah kita jika kita mendapatkan negeri yang kurang subur, tapi adalah kewajiban kita untuk mencari dan mendapatkan tanah yang lebih subur. Oleh karena itu sahabat-sahabatku para pemimpin negeri, aku mengusulkan untuk segera melakukan invasi ke negeri Z.”

Seluruh pemimipin negeri pun menyetujui usul tersebut. Mereka pun segera mempersiapkan penyerangan terhadap negeri Z. Hingga tibalah hari itu, hari ketika beribu-ribu pasukan menyerbu di pagi buta. Negeri Z yang aman dan tenteram itu pun terkejut bukan kepalang. Dengan segala kemampuan mereka berusaha mempertahankan kedaulatan. Para penjajah itu pun dengan senang hati meladeni kegigihan mereka. Darah dimana-mana, mayat bergelimpangan, api pun berkobar di segala penjuru. Akan tetapi, sungguhpun para penjajah itu berusaha sekuat tenaga untuk melumpuhkan rakyat negeri Z, mereka tak segera mampu melakukannya. Rakyat negeri Z adalah orang-orang yang sangat tangguh, mereka terbiasa bekerja keras, mereka pun selalu diajarkan untuk selalu menjaga kesatuan dan persatuan. Maka usaha untuk menyerbu mereka pun dengan singkat dapat dipatahkan. Para pemimpin negeri tetangga itu pun mulai gelisah. Mereka tak ingin penyerbuan ini sia-sia, pun mereka tak ingin pasukannya terlalu banyak yang menjadi korban. Mereka pun segera berkumpul dan berembug kembali. Kali ini dengan wajah yang sangat gelisah.

“Kita tidak bisa membiarkan ini berlangsung terus menerus”, kata salah seorang diantara mereka.

“Mereka terlalu kuat, mereka begitu bersatu, kita harus membuat mereka terpecah. Kita harus segera menemukan titik lemah mereka”, kata yang lain.

Lalu berdirilah pemimpin dari negeri H, “Baiklah sahabat-sahabatku, kita telah menyaksikan sendiri betapa mereka tak bergeming dengan peperangan penuh kekerasan ini. Maka dari itu, kita harus membuat sebuah strategi baru, aku mengusulkan, sebuah peperangan dalam diam.”

“Apa maksudmu?”, bertanya salah seorang diantara mereka.

“Sebuah peperangan yang bahkan mereka tidak akan menyadari keberadaannya, sebuah peperangan yang akan menguliti setiap lapis kehidupan masyarakatnya, sebuah peperangan yang akan sangat menghancurkan. Dalam perang ini kita tak perlu menyiapkan pasukan, karena darah yang akan tertumpah hanyalah darah rakyat mereka. Dalam perang ini kita tak perlu menyiapkan dana yang besar, karena nantinya mereka sendirilah yang akan menyerahkannya pada kita. Dalam perang ini kita hanya akan duduk nyaman sambil menonton mereka saling menyikut, menjegal, bahkan membunuh. Mereka akan hancur dengan tangan dan kaki mereka sendiri. Akan tetapi kehancuran mereka ini bukanlah kehancuran yang kita inginkan. kehancuran yang sebenarnya adalah ketika akhirnya mereka datang kepada kita dan menyembah-nyembah untuk diberi pertolongan. Pada saat itu tiba, kita akan dapat dengan mudahnya mempermainkan mereka, jangankan sebidang tanah yang kalian impikan, seluruh negeri hingga rakyat-rakyatnya pun bisa kita kuasai.”

“Tetapi bagaimana caranya?”, sebuah suara terdengar mempertanyakan.

“Ketahuilah sahabat-sahabatku, bahwa sebuah pohon akan mati jika kita mencabut akarnya. Begitu juga dengan negeri Z, kita harus bisa menguasai para pemimpinnya. Kita buat pemimpin-pemimpin mereka itu menjadi tikus di negerinya sendiri, tikus-tikus yang akan mengantarkan makanannya pada kita, tikus-tikus yang akan menjadi budak kita. Apalah daya rakyat biasa jika para pemimpinnya sudah kita kuasai, kita beri iming-iming selangit, kita tularkan gaya hidup busuk pada mereka hingga mereka benar-benar teperosok dan tak mampu keluar lagi.”

Maka segeralah dimulai peperangan itu. Sebuah peperangan dalam diam. Satu per satu pemimpin negeri Z itu mulai terperosok. Ekor-ekor tikus mereka mulai terlihat di sepanjang jalan. Seekor tikus memakai jas dan berdasi rapi. Sesekali mereka mengunjungi gudang beras, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Mengunjungi bank, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Mengunjungi tempat olahraga, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Bahkan mencium-cium kitab suci, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan.

Rakyat yang selama ini selalu percaya kepada pemimpinnya mulai merasakan gelagat tidak baik. Mereka merasa telah dikhianati. Tanpa terkendali lagi, seakan dalam sebuah gerakan yang masif, mereka mengungkapkan kekecewaan mereka dalam satu tindakan yang sama, mengambil, menggerogoti, lalu menghancurkan. Maka tampaklah kemudian, beribu-ribu tikus berdasi mondar-mandir melenggang dengan santainya sepanjang jalan. Jalan-jalan, gedung-gedung, sekolah-sekolah, bahkan tempat ibadah, menjadi makanan lezat mereka sehari-hari. Dimana-mana berantakan, dimana-mana bau busuk menyengat, dimana-mana tak ditemukan lagi tempat aman. Tikus-tikus itu mengambil dan menggerogoti untuk kemudian diberikan pada negeri lain yang mau memberinya imbalan yang lebih menarik. Mengambil yang bukan miliknya, menggerogoti yang bukan haknya, menghancurkan sesuatu untuk menghilangkan jejaknya.

Maka jadilah negeri yang aman tenteram itu sarang tikus yang menyeramkan. Begitu bau, gelap, dan kotor. Mereka telah kalah dalam peperangan. Sebuah kekalahan yang bahkan tak pernah disadarinya. Kisah tentang negeri elok yang makmur itu kini telah benar-benar menjadi sebuah kisah masa lampau yang hanya akan diceritakan pada anak-anak menjelang tidur mereka, agar mereka tidak lagi takut pada kotor, agar mereka tidak lagi takut pada gelap, agar mereka tidak lagi takut pada tikus dan tikus.

Sidoarjo, 26 Juli 2012

Kamis, 24 Mei 2012

Cerita Untukmu



Yah,
Tadi pagi aku menemukan keong di dekat sumur belakang. Kupandangi saja ia dari jauh. Ternyata ia melihatku, si keong tampak bengong dengan mata seperti menerawang; “gadis kecil ini, dulu bersembunyi di balik ayahnya, kini pun ia bersembunyi di balik pintu”.
Ayah, aku memang masih sering takut.

Yah,
Kuku-kukuku sudah mulai panjang. Tidak sampai kotor, apalagi menghitam, hanya lebih panjang. Tetapi jangan khawatir, kini aku sudah pandai memotong kuku. Meskipun tak serapih ayah dulu. Waktu itu, setelah ayah pergi, aku berusaha bisa segera potong kuku sendiri. Karena kalau sama ibu pasti sakit. Karena kalau tidak segera kupotong, nanti dimarahi sama buguru. Dan ayah tahu aku tak suka itu.
Ayah, apakah kalau kukuku panjang ayah juga akan marah padaku?

Yah,
Aku dibilang terlalu jahat sama nyamuk. Baginya, gigit dikit aja taruhannya nyawa, dimutilasi pula. Padahal kan aku hanya sedikit membela diri. Karena aku masih susah tidur ayah, jika suara mereka tak kunjung mereda. Apalagi kata ibu, ayah dulu juga begitu. Paling tak rela jika anak-anaknya diganggu.
Ayah, apakah nyamuk-nyamuk itu juga sering mengganggumu?

Yah,
Sebenarnya sejak tamat MI aku sudah mulai berhenti main kapuk. Bahkan selama mondok aku sudah tidak lagi main alis. Makanku pun sudah semakin cepat, tidak berjam-jam seperti dulu. Tapi akhir-akhir ini aku seolah diingatkan kembali dan ingin mengulanginya lagi. Aku mulai mencari kapuk dan alis. Aku mulai enggan makan dengan cepat. Aku mulai tak acuh pada orang lain. Hidupku seakan kupaksa untuk kembali menjadi seperti dulu lagi.
Ayah, aku ingin kembali ke masa itu. Aku hanya, terlalu takut.

Yah,
Satu per satu cita-cita kami tercapai. Aku tahu ayah pasti sudah tahu. Ibu senantiasa mendampingi kami Yah. Selalu. Sejak dulu. Foto-foto wisuda kami terjajar rapi di ruang tamu. Jepret kanan, jepret kiri, sedikit berlebihan, tapi menyenangkan. Ada ibu, mbah, pakpuh, semua terasa lengkap.
Momen yang indah Yah. Meskipun dalam hati sedikit terbesit, seandainya ayah juga di situ.

Yah,
Pagi ini aku bongkar-bongkar seluruh album foto di rumah. Sangat berdebu tapi aku buka satu-satu. Sedikit tertegun Yah, tak banyak kenangan kita bersama.

Yah,
Kalau saja kunjunganku hari sabtu-minggu dua puluh tahun yang lalu mengiyakan pintamu untuk tinggal lebih lama, tentu hari ini aku punya lebih banyak cerita untukmu.

by: Faizah Abdullah
Sidoarjo, 25 Mei 2012

Rabu, 14 Maret 2012

Menanti Ken Arok di Istana?

Beberapa bulan ini, entah mengapa, saya lebih suka mendengar dan menonton daripada membaca dan menulis. Dan semoga kali ini bukan sekedar tombo kangen saja, lebih dari itu sebagai titk awal untuk lebih istiqomah men-share dan berpendapat. Tema tulisan ini tiba-tiba muncul dan melintas saja di tengah-tengah karut marut proses membaca saya serial silat milik bapak SH. Mintardja, Pelangi di Singosari, dan beberapa berita di televisi tentang kondisi bangsa ini. Karakter Ken Arok sebagai penjahat yang punya prinsip tidak mau menyengsarakan rakyat kecil tampak lebih baik di mata saya daripada pemimpin dengan topeng tersenyum tetapi garang dibaliknya. Tulisan ini bukan untuk membenarkan setiap laku baik buruk Raja Singhasari itu, tulisan ini hanya sebagai media mengajukan pertanyaan balik pada kita sebagai bangsa Indonesia, apakah dinegeri yang indah dan kaya ini benar-benar harus menunggu seorang penjahat mengambil alih kekuasaan?

Ken Arok, bukan nama yang asing bagi sebagian besar masyarakat negri ini. Sosok yang berhasil memporak-porandakan “kemapanan” rakyat Jawa pada masa itu. Sosok yang di balik sikap garangnya memiliki alus bagi sang Ardhanareswari. Mungkin memang harus seperti itu adanya nyawa Tunggul Ametung berakhir di tangan Ken Arok. Bahkan mungkin sudah menjadi lakonnya tahta Singhasari kemudian digenggam erat olehnya. Karena nyatanya, Singhasari memerlukan sebuah perubahan yang sangat besar untuk mampu benar-benar menciptakan peradabannya.

Sebagai seorang maling yang kemudian mampu menggulingkan tahta kerajaan Kediri yang berkuasa pada saat itu, Ken Arok pastilah bukan sekedar maling biasa. Menurut beberapa kitab dan serat yang menceritakan tentang percaturan kerajaan Singhasari di tanah Jawa, disebutkan bahwa Ken Arok adalah putra Brahma dengan seorang wanita desa biasa, Ken Endog. Sejarah menyatakan, kehidupan masa mudanya begitu kelam hingga akhirnya ia ditemukan oleh seorang Bathara, Loh Gawe. Dari sang Bathara inilah ia mengenali putihnya hidup sebagai makhluk Tuhan. Ken Arok akhirnya menemukan jalannya kembali. Ia kembali berpacu untuk mendapatkan keseimbangan hidupnya yang pernah kelam. Akan tetapi sungguhpun seorang manusia berusaha menentukan jalannya, tetaplah yang Maha Kuasa sebagai Penentunya. Begitulah kiranya yang terjadi pada Ken Arok. Ia yang telah menemukan jalannya, pada akhirnya kembali tersesat. Ken Arok, yang muda yang menggelora. Terpikat pada sesosok anggun pujaannya, sang Ardhanareswari, putri dari Panawijen, Ken Dedes. Tak ada yang salah dengan perasaan seorang lelaki pada seorang wanita, tetapi yang terjadi adalah Ken Dedes telah menjadi permaisuri rajanya, Tunggul Ametung.

Fakta sejarah membuktikan, bahwa Ken Dedes kemudian memang ditakdirkan untuk Ken Arok. Sebagaimana Ken Arok ditakdirkan untuk Singhasari. Kesedihan atas kematian Tunggul Ametung nyatanya tidak berlangsung lama. Ken Arok, sang mantan maling yang menggulingkan rajanya dengan cara yang licik, yang pada awalnya hanya berambisi untuk mendapatkan Ken Dedes, ternyata benar-benar mampu menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Singhasari. Bahkan tidak hanya di Singhasari, setelah invasinya pada kerajaan Kediri membuahkan kemenangan yang gilang gemilang, kehidupan masyarakat Jawa pun semakin tertata. Tidak hanya di Tumapel yang kala itu menjadi pusat pemerintahannya, tapi hingga pelosok-pelosok desa. Kemampuannya membuka lapangan pekerjaan bagi segenap rakyatnya telah nyata berhasil menekan tingkat kriminalitas dan dominasi golongan penguasa. Ia mampu menciptakan manusia-manusia dengan kualitas hidup yang lebih produktif dan dinamis.

Ken Arok dengan segala hitam putihnya telah mencetak sejarah baru bagi rakyat tanah Jawa. Betapapun ia telah menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah, ia telah menebusnya dengan memberi kesejahteraan, kemakmuran hidup, dan masa depan yang lebih baik bagi rakyatnya. Karena memang kadang-kadang yang tidak bersalah harus menjadi korban. Menjadi tawur untuk masa depan yang lebih baik.

Kemudian lihatlah Indonesia kini, sebuah Negara yang dibangun dari berbagai macam peradaban kerajaan-kerajaan. Sebuah Negara yang harusnya prokoh tak gampang oleng oleh angin mamiri karena pondasinya adalah hati-hati baja para ksatria. Sebuah Negara yang harusnya lebih kokoh dan kuat karena ia adalah penggabungan kekuatan-kekuatan dari seluruh pelosok negri. Akhir-akhir ini, sadar atau tidak, Bumi Pertiwi dirundung kabut tebal. Hitam menggelayut di angkasa lara. Duka mendalam sedang melanda negri ini. Berbagai macam persoalan datang silih berganti tanpa ada satupun yang benar-benar teratasi. Dari bencana alam hingga bencana moral.

Nyatanya, setuju atau tidak, pertumpahan darah sudah terjadi. Rakyat kecil sikut-sikutan demi ngatong bulir-bulir padi dari langit. Di atas sana manusia saling tawur untuk kekuasaan, senggol menyenggol untuk segepok lembaran momok. Tanpa sadar nantinya itu semua hanya akan menjadi butiran debu. Melayang ke udara, mengotori bumi, memperkeruh hati, merusak tubuh. Mati-matian manusia mencari sesuatu yang tidak pasti dibawa mati, sementara yang pasti dalam hidup ini hanyalah kematian.

Tapi benarkah hanya sosok seperti Ken Arok yang bisa mengatasinya? Bukankah kita tak lagi punya Ken Dedes di istana? Dan apakah benar kita, pada zaman yang sekarang ini, akan membiarkan seorang mantan maling untuk memerintah? Karena, mantan maling, selain bisa menjadi orang yang benar-benar bertaubat, juga bisa menjadi seorang perampok. Dan tampaknya inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Ketika masih sekolah, maling waktu belajar untuk bermain. Menjadi pegawai, maling gaji kanan kiri atas bawah. Maka ketika jadi penguasa pun levelnya meningkat, sebagai perampok kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.

Tentu saja kita tak ingin ada korban tak bersalah lagi dengan menghadirkan sosok Ken Arok untuk memerintah Indonesia. Karena kita telah jauh melampaui masa itu. Kita adalah bangsa yang besar dengan kearifan dan sejarah masa lalu yang gilang gemilang. Dan tentu saja, kita pun akan menciptakan cerita sejarah yang lebih indah untuk anak cucu kita. Sebuah cerita yang mampu membuat mereka tersenyum bangga. Benar-benar wangi hingga ke seluruh pelosok bumi.

Maka wajar saja jika beberapa diantara kita mulai murung dan bingung. Siapa yang mampu memutihkan Indonesia yang telah penuh dengan noktah hitam ini? Dan mungkin memang benar kita hanya bisa mengharap kejutan dari langit. Semoga tuhan mengampuni dosa kita dan nenek moyang kita yang telah banyak berkelahi demi kekuasaan yang hanya bisa ditentukan olehNya. Kalau mengutip dari tema pementasan teater perdikan di gedung Cak Durasim kemarin, kali ini kita hanya bisa mengharap Tuhan berkenan memberi bantuan dengan mengirimkan nabi atau rasul. Kalau tidak bisa nabi dan rasul yang sebenarnya, nabi darurat atau rasul ad-hoc pun tak mengapa…

Sidoarjo, 13 Maret 2012