Pages

Rabu, 11 Agustus 2010

Fable Kampoeng

Dalam tasbih angin menderu di suatu purnama yang bergolak. Sebuah taman yang dibangun oleh orang kota, yang katanya ia sebagai jantung, paru-paru, dan sekaligus wajah. Sebuah taman kota dengan bunga tak banyak macamnya. Sebuah taman milik kota dengan sungai buatan di dalamnya yang bahkan airnya pun tak lebih baik dari selokan. Sebuah taman di tengah kota yang baru saja menjadi saksi atas nyanyian merdu seekor katak malang kepada sosok pujaan. Dalam ribuan malam dengan bintang berjuta ia menanti. Hingga mungkin purnama pun bosan atas ratap dan tatap mata sendunya.

Seekor kupu-kupu bersayap kuning melayang rendah di antara rimbun bunga taman. Ia, yang tak terbantah indah sayapnya, tak terpungkiri anggun lakunya, mulai bermanja-manja pada harum bunga. Bermandi cahaya bulan, ia bercanda dengan lebah sang kawan, berlari dan menari dalam sebuah tatapan pemuja. Begitu tak menyadari atau pura-pura tak menyadarinya, sang kupu bernyanyi riang. Hingga lebah pun menegurnya.”Jangan terlalu keras! Nanti ada laba-laba atau katak yang datang untuk menyantap. Hari-hari seperti ini mereka sedang lapar-laparnya.”
“Ah, biar saja. Mereka pasti akan menyesal jika memakanku. Karena aku hanya akan menjadi selilit di giginya. Mereka juga pasti akan berfikir dua kali untuk memakan kita. Bukankah ada yang lebih gemuk? Hahahaha..” sang kupu menyahut.
“Kau memang tak punya takut. Asal kau tahu saja, dari tadi aku melihat seekor katak melihat kearah kita terus, lebih tepatnya ke arahmu! Saat ini ia akan merasa puas walau hanya sekedar menyantap kupu-kupu kurus dan lebah kecil sepertiku.” Oceh si lebah.
“Mengapa ia tak datang kesini saja dan segera memakan kita? Mengapa malah menunggu dan berharap kita datang menyerahkan diri padanya.” Tanyanya pada lebah yang hanya dijawab oleh gelengan kepala olehnya.

Kupu-kupu yang sejak lama diam-diam selalu bertanya-tanya atas sikap si katak kembali di buat penasaran. Hingga kini pun ia berada pada puncak rasa ingin tahunya. Maka ia terbang menuju sang empunya jawaban. Ia memang bukan sosok penakut. Ia bahkan tak peduli walau mungkin saja sebelum ia selesai dengan pertanyaannya sang katak sudah melahapnya. Seakan ia memang telah menanti saat-saat ini. Ketika ia dapat bertatap muka dengan sesosok yang selama ini ia tahu selalu memperhatikannya. Ketika ia dapat bertanya atas alasan apa ia tak segera mendatanginya dan mencincang tubuh kurusnya.

Dalam jarak tak begitu jauh, seekor katak bersila di atas batu buatan di pinggir sungai yang rupanya buatan juga. Seekor kupu-kupu bersayap kuning melayang terbang berputar-putar di atasnya hingga kemudian hinggap di pucuk daun bunga sepatu terdekat dengan batu sang katak.

“Wahai katak! Tidakkah kau lelah berlama-lama diam di tempatmu itu? Tidakkah kau ingin pergi ke tempat aku bermain dan segera menyantapku saja? Apakah dengan menatapku dari jarak yang sedemikian kau sudah cukup kenyang?” Tanya kupu-kupu dengan tak sabar atas sebuah jawaban.

Sang katak tersenyum, dan ia pun menggeleng. Kemudian ia menyahut dengan suara yang begitu dalam. “Bagaimana kabarmu , wahai peri kuning?”

“Apa yang kau lakukan ini? Kau menanyakan kabarku disaat aku begitu penasarannya dengan jawaban atas pertanyaanku tadi? Aku tak akan mempermasalahkan jika kau akan memakanku setelah kau jawab rasa ingin tahuku.” Merah padam wajah sang kupu atas apa yang dilakukan oleh si katak.

Sang katak menunduk, menghela napas panjang, untuk kemudian dengan suara lirih tapi cukup terdengar ia menjawab:
“Dengarlah wahai ratu taman, aku tak segera memakanmu memang atas inginku. Aku menggila pada puasa berjuta tahun lamanya jika hanya kau satu-satunya yang tersisa. Bahkan aku akan dengan senang hati kalaupun harus kupotong lidahku hanya agar tak memangsamu. Tapi aku memohon satu hal padamu, jangan kau larang aku untuk memandangimu dari tempatku ini dan dengan jarak yang begitu jauh ini. Agar aku tak lupa atas sebuah rasa yang kumiliki padamu. Biarkan aku mengagumimu. Izinkan aku bermain dalam hasratku padamu. Aku cukup bisa bertahan hanya dengan harapku atasmu”

Sebuah pengakuan tak pernah terduga. Sepenggal cerita dari negeri maya. Sekelumit kisah tentang rasa. Rekah rona sudut hati senandungkan irama lara.

By: Faizah Abdullah

Sebatang Pohon Keres di Pinggir Kali

Mungkin akulah saksi paling kunci diantara semua saksi kunci
Dalam peristiwa upacara kasih seorang tetangga
Dalam pertunjukan sayang seorang saudara
Saksi kunci yang benar-benar terkunci

Aku mengenal baik parang itu
Ia sahabat lamaku
Seringkali kubercanda dengannya kala merapikan ragaku
Tak kusangka, ia juga terlatih untuk menyapih sang madu

Di bawah ketiakku mereka memadu kasih
Seraya mencium kakiku mereka menyehidupmatikan cinta
Sambil memelukku mereka berjanji akan rasa yang abadi
Dengan air darah mereka siram aku dalam permusuhan

Aku mengira memang terlalu sederhana si sumpah
Atau tak berarah cinta matinya
Hingga aku pun kini ikut menderita
Tak seorang pun berkunjung sekedar menjumput merahnya buah

Ayom pelukku mungkin tak sanggup lagi dinginkan hati
Dalam gejolak amarah kala sang kasih menjumput bunga yang lebih wangi
Apalagi ditambah dengan bau basin kali
Yang sepertinya makin hari makin tak dipeduli

Aku,sebatang pohon keres di pinggir kali,
Tak pernah bersedih karena harus ditinggal sendiri
Aku bersedih karena harus menyaksikan segala yang terjadi


Sidoarjo, 17 Juli 2010,
Untuk seorang tetanggaku yang tewas dibacok oleh tetangga sekaligus saudaranya sendiri.

By: Faizah Abdullah

Negriku Negri Penuh Misteri

Negriku negri penuh misteri
Tak mungkin tampak apa yang menggeliat di dalamnya
Yang ada hanya suara-suara tak bertuan
Begitu ditakuti untuk didengar
Sehingga pura-pura tak dengar pun menjadi pilihan aman

Negriku negri rawa hisap
Segala kaya akan berubah jadi asap
Semakin ia bergolak semakin cepat ia lenyap
Maka dirasa kali ini lebih baik untuk tidak banyak nyap-nyap
Tak peduli walau kian hari jadi kian senyap

Negriku negri kaya teka-teki
Terpajang berjuta hadiah tuk mengungkap
Tapi mungkin memang lebih indah jika hanya sunyi
Sibuk oleh petunjuk menurun mendatar yang menyekap
Memasang kacamata kuda tuk sekedar menoleh pada airmata Rani

By: Faizah Abdullah