Pages

Minggu, 01 Mei 2011

Parade Senyum

Permisi mas permisi
Permisi mbak permisi
Kulo bade ngamen ten mriki
Tapi sayange kulo mboten saget nyanyi
Nyanyi kulo nggeh ngeten niki
Hahahaha,
Saking isin bade nedi
Satus rongatus nggeh kulo terami
Hehehehe,
….

Aku semakin menikmati saja perjalanan ke-33 mudikku. Bukan sekedar faktor tuntaskan rindu di rumah, tapi juga adanya konser jalanan tak kunjung usai dari awal naik bus hingga berakhir di terminal. Kali ini, giliran pak tua dengan krencengan dari tutup botol minuman yang unjuk gigi. Meskipun, tampak jelas di sana, giginya tak mau kompak, malu-malu tak mau muncul bersamaan. Sesekali di sela-sela nyanyiannya –lebih tepat disebut ocehan– ia tertawa, hahahaha, terkekeh, hehehehe, seolah tak mau tahu dengan panasnya dunia dan bahkan telinga. Dalam mukadimahnya, pak tua mencoba jujur dengan tidak mau menyanyikan karya orang lain karena belum meminta izin, selain dia pun tak bisa. Syair gubahannya pun terdengar mengenaskan karena tak bernada, tapi kekehannya di tengah lagu itulah yang memunculkan senyum kami tak sengaja. “Ocehan” pak tua di bus Restu jurusan Surabaya-Malang, aku mengenangnya. Sebuah teguran ditengah krisis kejujuran.

Senyum hari itu semerta mengingatkanku pada sosok pak tua lain. Seseorang yang tiba-tiba datang ke rumah, dengan gigi yang juga enggan kompak, menawarkan sapu panjang pembersih sawang. Tak ada niat membeli sebenarnya kalau bukan karena wajah letihnya yang kentara. Dia kembali lagi setelah celingak-celinguk tak ada orang di masjid sebelah rumah. “Niki nitip amal damel mesjid”, ucapnya seraya menyerahkan satu buah sapu panjang dagangannya. Senyumnya ini memang tak jauh berbeda. Dengan memanggul ke-11 buah sapu panjang di pundak kanan, dan tas kresek besar berwarna merah di tangan kiri, ia berlalu menyisakan malu. Karena banyaknya yang lupa bahwa “sapu” pun mampu menderma tanpa ragu

Sementara senyum lain pun mengembang di suatu tempat tak jauh. Seseorang berjas rapi menggumamkan seru di balik meja kerjanya. Kumis tipis di atas bibir dicukur rata agar tampak senyum ramah penghasil simpati pada sosoknya. Ia tersenyum tertawa terkekeh dan terbahak oleh teriakan massa dalam demonstrasi sudi lengser dirinya. Ia tersenyum, karena pundi emas ke-41nya baru saja tersimpan apik di kolong kasurnya. Ia tersenyum, karena angka di rekening tak akan pernah membiarkannya pening. Ia tersenyum, karena merasa ialah penguasa tak mempan unjuk rasa.

Maka biarkan saja senyum itu ada. Maka jangan hiraukan senyum kini meraja. Karena memang senyum tak pernah karena duka. Senyum tercipta sebagai ungkapan bahagia. Bagaimanapun bahagia itu menyisakan luka, akan tampak pada senyum siapa.

Malang,31 Maret 2010