Pages

Senin, 13 Juni 2011

Salah Desain

By: Faizah Abdullah




Sepertinya mereka memang salah memilih desain
Sebuah rumah kotak di pinggir pasar dan jalan besar
Mereka bilang itu dinding; perpaduan triplek dan seng dengan beberapa ventilasi kecil sebab rayap, lepuh, dan karat
Tak pula pandai mereka memilih cat; tampak bermacam poster warna-warni tertempel ngawur berlembar-lembar
Mereka bilang itu pintu; segupil celah sempit, menempel pada dinding dengan engsel sekedar
Mereka bilang itu atap; walaupun panas hujan tetap menjadi sahabat

Tapi mereka tak mungkin mengakui telah salah desain
Meskipun tampak kontras dari menjulangwarnawarni istana sebelahnya
Pagar besi kokohtinggiantikarat, seakan ada ratusan macan di dalamnya
Taman hijau dibentuk bebekgajahkambingular, macam kebun binatang rupanya

Rumah kotak itu, anggap saja, tak pernah salah desain
Mungkin sang arsitek si pemilik memang senang berkawan panas dan hujan
Atau mungkin sang arsitek si pemilik sedang mencoba untuk bisa selalu berkawan dengan panas dan hujan
Mungkin pula sang arsitek si pemilik tidak bisa untuk tidak senantiasa berkawan dengan panas dan hujan
Walaupun mungkin juga sang arsitek si pemilik memang rendah hati, tak gemar sesumbar, bahwa ia tak suka dengan panas dan hujan

Malang, 12 Juni 2011

Episode Sri Vol.2

By: Faizah Abdullah

Namaku Sri. Tapi aku bukan Sri itu, yang dulu saat kelas empat SD selalu kau bikin malu. Aku adalah Sri yang baru. Seorang Sri yang bekerja di pabrik sepatu. Dan membenci hari minggu.
….
Berharap sang ayam mengubah jadwal kokoknya di pagi hari, atau paling tidak nadanya, yang kian hari terdengar kian nyaring dengan tanpa tedeng aling-aling. Rohku yang sedang menyanyi menari dalam buaian mimpi pun dibuat terengah untuk berusaha berpaling. Aku dan rutinitas hariku yang seakan tak mau digantikan sang waktu. Enam hari dalam seminggu aku mematuhtaati bergelut dengan sepatu. Kini, tiba saatnya untuk kembali menata hati, bersua dengan minggu. Hari ketika trauma masa yang dulu tergambar jelas di kelopak mataku. Dekat, erat, seakan kian merapat.

Tak ada yang salah dengan hari minggu. Satu hari yang dinobatkan sebagai hari santai internasional. Bersantai karena lepas dari rutinitas seminggu lalu. Bersantai karena menjadi masa untuk berbagi resep masakan baru, bercanda di binatu, bertawa riang di outlet- outlet sepatu, bertanding di lapangan berdebu, atau sekedar bercumbu dengan timbunan bantal beludru. Hari minggu, walau bagaimanapun, tetap ditunggu. Pak Sangi tetanggaku, seorang tukang becak tua yang sejak aku kecil dulu hingga kini tak pernah mau melepas sadel becaknya, tetap menunggu datangnya hari minggu. Ia yang mangkal di pertigaan jalan raya mengaku berpenghasilan lebih di hari minggu.

Pada hari minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
….

Sebuah lagu kanak-kanak yang sangat berpengaruh sepertinya. Maka semenjak pemerintah melarang delman berkeliaran di jalan-jalan kota, para tukang becak pun mempunyai peran cukup tata.

Seperti yang kukatakan tadi, namaku Sri. Aku bekerja di pabrik sepatu, dari hari senin hingga sabtu. Dan aku membenci hari minggu.

Semenjak kepergian bunda, saat itu aku baru duduk dikelas empat di sebuah SD tak jauh dari rumah, keluargaku hanya menggantungkan hidup pada pensiunan ayah. Ayah yang sakit –atau mungkin memang benar-benar “sakit”, istri ayah –ibu- yang –mungkin pedagang rotan, dan anakistriayah –saudaratiriku- yang –entah. Aku sudah harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan ketiga perut yang senantiasa menunggu; ayah, ibu, dan seorang saudari. Saudari yang kudapat dari istri ayah, dan tak pernah bisa berbeda dari sang ibu. Tidak ada masalah bagiku memiliki adik baru yang cukup bengal, karena aku merasa telah cukup lama menjadi putri tunggal. “Apa salahnya berbagi”, pikirku di suatu pagi ketika kudapati pita pink ku, untuk kesekian kalinya, “pergi”.

Bundaku pergi di hari minggu, tanpa seorang pun tahu ia tergeletak layu. Maka kala itu aku berhenti bermain di hari minggu. Aku tak ingin melewatkan sedetiksaat pun dari hari minggu, karena tak ingin lagi bunda, dan bunda, dan bunda, dan… bunda, milikku, pergi, berlalu. Semula kusenang dengan keputusanku, hingga suatu pagi, di usia 11 ku yang dini, ayahku pulang dan menjejalpaksakan nafsunya pada si kecil aku, tanpa mampu raga ini berlaku,, aku semerta ingat, hari itu, hari minggu.

Setahun kemudian ia menikah lagi, di hari minggu. Dasar ayahku sakit! istriayahku sakit! anakistriayahku sakit!. Maka jangan salahkan aku, jika aku sakit di hari minggu. Hingga suatu siang, aku termangu oleh ulah rotan sematkan memar tangan, paha, punggung, dan entah yang mana lagi, aku telah lupa, yang kuingat, itu semua diawali dihari minggu. Sejak saat itu, aku benci hari minggu. Mingguku selalu kelabu, my Sunday is always so blue.

Kalau saja namaku bukan Sri, maka aku akan berhenti bertahan. Kalau saja namaku tak diawali dengan “Sri”, maka aku akan menolak untuk tersenyum menawan. Kalau saja namaku bukan terdiri atas tiga huruf; s, r, dan i, maka aku akan memilih untuk diam dalam enggan.

Karena namaku Sri, bukan pecundang. Karena namaku diawali dengan “Sri”, bukan penjual tampang. Dan karena namaku terdiri atas tiga huruf; s, r, dan i, bukan *, *,dan *.

Malang, 22 Mei 2011