Pages

Minggu, 25 Desember 2011

Menari

Semerta saja teringat sebuah lagu yang pernah dinyanyikan oleh anak-anak KJD di salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu yang lalu. Lagu dengan aransemen sederhana tetapi memiliki lirik yang luar biasa. Dengan memilih judul “Menari”, lagu ini tentu saja bukan hendak menceritakan tentang macam-macam tarian yang ada di negeri ini. Singkat cerita, lagu ini ingin mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang tak menari.

Semua yang ada di semesta ini melakukan tariannya masing-masing sebagai usaha untuk mencapai tujuannya. Karena menari berarti senantiasa bergerak. Menari berarti bergerak gemulai tapi pandai. Menari berarti bergerak lincah dan terarah. Menari berarti bergerak penuh seni yang falsafi. Bergerak sesuai dengan harmoni yang telah digaristuntunkan oleh Sang Gusti.

Mungkin kita pun pernah mendengar tarian sufi yang populer dengan sebutan tarian darwis. Tarian yang menurut ceritanya, penciptanya adalah seorang sufi besar Islam, Jalaluddin Rumi. Dengan gerakan berputar ke kanan, beporos pada satu titik tertentu, dan kepala menghadap ke atas, tarian ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa walaupun akhirnya dalam hidup ini manusia sering terkecoh oleh ombang-ambing segala tetek-bengek urusan duniawi, pada hakekatnya Tuhan telah menggariskan sesuatu yang nyata dan jelas untuk dianut. Kaki yang berpijak pada satu titik pusat sebagai poros putaran yang bergaris lurus dengan kepala yang mengahadap ke atas, sebagai upaya seorang hamba yang senantiasa mengharapkan kerelaan Tuhannya.

***




Aku setuju saat kau bilang di dunia ini tak ada yang tak menari. Karena ternyata kaki tangan tubuh dan jiwa kita pun enggan berhenti. Menarikan satu, dua, hingga berjuta-juta. Menarikan rasa, rasa, dan segala macam rasa; bahagiatolol, sedihkecut, marah dan ramah di segala remeh-temeh karsa.

Kita menari saat bahagia sekaligus ketololan menyelimuti. Menari dengan berbagai macam cara yang dikenal. Ada yang menyanyi, meratapi, bahkan ada yang hanya sunyi. Menyanyi karena bersyukur, meratapi karena tak cukup berani untuk berbagi, dan hanya sunyi sebab mati tuk sekedar bersyukur sebagai tanda kunci hati. Dan kita tetap menari.

Kita pun menari saat sedih menghampiri. Menarikan lidah untuk bercerita dan mengumpat, menarikan mata untuk berlinang, menarikan tangan untuk bertekad menyempurnakan yang kurang, dan semoga sebagian besarnya menarikan hati tak berpamrih untuk lebih mengharap, mendekat, dan mencinta tanpa patah arang. Tentu saja, kita masih menari.

Kadang kita juga menari saat marah serta kecewa melanda. Bahkan ikut menari untuk rayakan pembelengguan massal dengan derita. Lihat saja manusia-manusia penggede kita di sebuah sudut kuasa. Tarian mereka vulgar dan nyata. Tarian lidah tangan kaki otak tapi tanpa hati. Walaupun begitu, kita tetap saja masih menari.

Apapun itu, kita semua menari. Menarikan tarian-tarian kehidupan. Diiringi irama syahdu rengkuhan Tuhan, dan kadang juga dengan irama sendu tangisan semesta atas ketidakharmonisan manusia atas hakekat jiwanya, dan kita terus saja menari. Menari ceria walau kadang juga lara.

Sidoarjo, 9 Desember 2011