Pages

Selasa, 22 Februari 2011

38 HARI

Aku meminta izinmu kawan, untuk menceritakan pada dunia tentang 38 hari milik kita, yang mungkin takkan tuntas dilukiskan kata-kata. Jikalau ada sesal kawan, aku bertaruh dengan istana imajinatifku, akan kuremukkan setiap bata dan batunya yang tertata, untuk kujadikan bunga terindah dalam hatimu. Karena 38 hari itu nyatanya telah benar-benar menjadi kenangan paling ingin diulang. Setuju atau tidak, 38 hari kita terdiri atas 3 fase. Sekali lagi, Setuju atau tidak, ketiganya terarah pada satu kepastian: indah.

Ingatkah kau kawan, dalam harap dan cemas menunggu datangnya suatu masa ketika kita benar-benar harus bersama. Saat ia datang, tentu saja ceria menggelora, bahagia membadaitopankan lara, hingga dengki dan benci lenyap entah kemana. Pada saat itu, tanpa kita sadari bahaya mahadahsyat mengintai. Bahaya ego pun membuncah, merasa paling benar dan hebat. Inilah fase AKU. Segala selain dirinya hanya nothing dan will never be a thing. Menafikan semesta kawannya untuk mempercantik semestanya sendiri. Bertopikkan “AKU”, kita tetap tertawa dalam canda, menertawakan semua yang tak mau masuk dalam“AKU”. Bahkan sekedar bersapa dengan “KAU” atau “DIA” pun enggan. Maka kemungkinan yang ada adalah 38 hari kita menjadi “MILIKKU”. Tak ada lagi ruang bahkan kesempatan untuk yang lain. Selamat datang dalam dunia bencana ego.

Sebenarnya tak terlalu parah dampak yang ditimbulkan oleh salah itu. Hanya mungkin dosis yang kita pakai terlalu tinggi. Maka tentu saja nggliyeng dan puyeng tak segan lagi menghampiri. Program kerja tak matang dijadikan alasan. Sikap tidak tanggungjawab menjadi kambing hitam. Ditambah lagi dengan berjuta “karena”, sehingga selainnya pun menjadi tumbal. Malam kita tak pernah dingin kawan, malam kita penuh sesak dengan kata “ingin”. Kalau anggrek yang menempel pada mangga itu diizinkan bersuara, tentu yang terdengar adalah “J****K !!!!”, karena ternyata, kita tak pernah memberinya kesempatan untuk mendengarkan cerita indah kita, pujian manis kita. Yang ada hanyalah pertarungan angkuh dan arogansi. Koordinasi yang benar-benar mencipta frustasi. Sekali lagi kawan, jangan buat salah ini menjadi alasan untuk selalu terpuruk. Asal kau tahu, inilah fase KAMU. Semakin kita memaki, semakin kita mencari tahu sifat dan tabiat seorang kawan. Kita baru memulai untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Walaupun tampak terlalu ekstrim, tapi itulah kenyataannya. Topik kita adalah WH Question; what, who, where, when, why dan how. Pertanyaan yang sama setiap hari; apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Tentu saja, dalam fase ini yang menjadi objek utama adalah “KAMU”, bukan “AKU”.

Kalau saja 38 hari adalah sebuah ajang pencarian bakat seperti yang sedang marak akhir-akhir ini, tentulah kita pemenangnya. Bagaimana tidak, begitu banyak bakat rahasia dan dirahasiakan yang akhirnya terkuak. Kita memaksa diri kita sendiri untuk bisa. Tidak bisa tidak, karena kita memang harus selalu paling bisa. Mengesampingkan keAKUan dan keKAMUan. Sebuah spirit untuk menciptakan “AKU” dan “KAMU” yang serba bisa. Kalau bukan karena gengsi kau sudah menasbihkan KITA dalam AKU dan KAMUmu. Tapi itulah, kita sedang berada dalam masa transisi paling kejam. Karena harus membunuh dan meleburkan diri dalam KITA. Inilah akhirnya fase KITA. Berusaha menyatu dan bersama berseru: 38 hari ini milik KITA !!.

Adakalanya kita bersatu bukan karena berada dalam satu wadah, melainkan karena berada dalam satu konflik

38 hari yang dulu ditunggu datang dan perginya
38 hari ego ditempa dalam balutan amarah serta canda
38 hari untuk menemukan KITA


Sidoarjo, 21 Februari 2011

Kamis, 17 Februari 2011

booom,

Mungkin memang terlalu jauh ia melangkah keluar, hingga batas bahaya pun dilanggar. Ia berteriak marah pada kaki tanpa mata yang tak sengaja menginjak. Maka aku pun tunduk pada erang dan merah padam dendam. Terkungkung dalam jeruji bara kecewa bahkan sesal. Tahukah kawan? Putih tak pernah benar-benar putih jika tanpa hitam sebagai pembanding, dan begitu pula sebaliknya. Tak pernah ada antagonis dalam hidup kecuali jika kau ciptakan protagonisnya. Tapi ingatlah, protagonis pun tak pernah tercipta sempurna karena tanpa cacat. Kesempurnaan hadir dalam warna-warni yang kau pilih tuk dampingi sang putih. Biarkan sang pipit keluar sarang tuk belajar terbang, ketika ia terantuk dahan jangan pernah kau salahkan, tolonglah ia, karena bahkan mengepakkan sayap pun butuh keberanian.

Seekor elang berang oleh cucuk paruh pipit terantuk ketika belajar terbang. Pipit kecil tak pernah ingin dikasihani, tapi tajam mata elang menyambar segala keberanian yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Pipit kecil mengaku salah karena gagal kepakkan sayap, tapi elang terlanjur geram atas secuil laku lemah dan mungkin bodoh tak ditolerirnya.