Pages

Jumat, 29 Juli 2011

Episode Sri Vol. 3

By Faizah Abdullah



Sebuah pesta. Bergempul asap beraneka. Menggelut, melebur, menyatu. Sebuah bubungan menjulang di nirwana angkasa malam. Bercampur dengan lebat tebal kabut gunung tempat bertapa putra ketiga Dewi Kunti, Arjuna. Gempulan berbagai asap dan kabut itu menyelimut hangatpekatkan malam. Menutupsamarkan bintang dan rembulan. Asap obor berpuluh, asap kayu bakar, asap celeng hampir hangus, asap tembakau yang dihisapsemburkan oleh segenap manusia lupa. Seekor burung hantu bertengger di ujung dahan. Tak pernah berpura-pura membelalak, karena memang ia sudah begitu adanya. Seorang pengelana tua, mabuk dan termenung, tampak duduk disudut ramai. Menerawangkan sebuah saat di kala muda.

Di tengah khalayak, tepatnya di sekitar api unggun menyala, seorang muda gagah berseru meminta perhatian dari segenap manusia yang ada. Mungkin memang cukup tangguh ia dalam hal minuman keras seperti itu, terlihat dari berkendi arak yang telah dilahaphabis olehnya.

“Pesta ini adalah untuk merayakan keberhasilanku sebagai adipati baru di Linggabuana ini. Dan tentu saja, malam ini takkan pernah lengkap tanpa uji ketangguhan.” Pemuda itu berdehem, dan melanjutkan kembali, “Aku, Barapati Trunggojoyo, adipati Linggabuana, menantang siapapun dari kalian untuk adu olah kanuragan denganku. Siapapun kalian yang mampu mengalahkanku, kurelakan wanitaku padanya”. Ucapnya lantang.

Entah iblis darimana yang telah merasukinya. Asal tahu saja, istrinya adalah seorang yang bersahaja yang begitu dikagumi seantero Linggabuana. Banyak sekali pemuda, bahkan yang tua, yang begitu mendambanya. Kecantikannya tak mungkin diragukan lagi. Kecantikan yang mampu meluluh lantakkan hati setiap laki-laki yang berani menatapnya. Kecantikan yang pasti menumbuhkan benci dan cemburu setiap wanita. Kecantikan yang mungkin memang ia titisan para dewa, sehingga segala kesempurnaan bertumpu hanya padanya.

“Kau gila Bara!”, ucap seorang tua tak jauh dari tempat Barapati berdiri menyilangkan tangan, seseorang dari sekian banyak orang tua yang harus disebutnya sebagai paman.

“Kau berani manjadikan istrimu itu sebagai taruhan! Kau tahu apa jadinya jika kau kalah. Atau kau memang sudah ilang warasmu?” lanjutnya penuh amarah tak percaya.

“Aku memang gila paman Petingkir. Aku gila karena belum menemukan seorang pun yang mampu mengalahkanku. Aku belum pernah sekalipun menemukan lawan tanding yang seimbang dan menantang bagiku. Selama ini yang kutemui hanya manusia-manusia pengecut tak punya nyali karena memang mereka tak memiliki kemampuan untuk sekedar tanding olah kanuragan denganku. Aku mempertaruhkan wanitaku, Sri Kumala Rajapadni, karena aku tahu aku tetap yang terhebat. Hahhahahaha..”

Petingkir pun mencoba mamahami pergulatan hati yang dialami oleh kemenakannya itu. Sejak kecil ia tumbuh dan dewasa dengan kehidupan yang sangat berat. Sebagai seorang anak yang tak pernah mengenal ayah dan ibunya karena lebih dulu meninggal di tangan seorang kejam bernama Gadawesi dalam sebuah pertempuran berdarah, ia ditempa oleh kakek dan paman-pamannya mendalami olah kanuragan tak berujung. Siang malam tiada henti ia berlatih. Semula tak ada yang tahu apa yang menyebabkannya begitu semangat dalam latihan, hingga suatu pagi, ia pulang dengan menenteng sesuatu yang dibungkus dengan kain sarungnya, kepala Gadawesi.

Rupanya ia marah. Ternyata ia dendam. Sekian tahun cercaan dan makian anak-anak teman sepermainan yang menyebutnya sebagai anak pungut. Dan ia pun menenggelamkan diri dalam latihan tak berujung. Kemampuan olah kanuragannya tak perlu dipertanyakan lagi, ditempa oleh begitu banyak guru. Ditambah kecerdasannya yang mampu menggabungkan begitu banyak ilmu menjadi sesuatu yang tak tertandingi. Para gurunya sudah melepasnya, mengangggapnya telah cukup mampu untuk mengangkat muka di tengah masyarakat yang selama ini mencibirnya. Kemampuannya telah melampaui guru-gurunya, kemampuannya tak lagi terukur oleh kasat mata. Maka jadilah Barapati saat ini menjadi seseorang yang selama ini diinginkannya.

Barapati, untuk menjadi seorang adipati ternyata harus menggadaikan kejujuran dan kebaikan hatinya. Walaupun memang adipati Linggabuana sebelumnya adalah seorang yang keji dan seorang penguasa lalim, tapi bukan berarti ia pun harus dibunuh dan dicincang untuk kemudian digantikan oleh sang pembunuh, Barapati. Bisa jadi warga yang mengelu-elukannya pun terlena oleh kemenangan pahlawannya, hingga tak menyadari akan adanya sebuah kemungkinan nestapa mereka kan terulang. Bahwa seseorang yang mampu membunuh seorang keji juga berpotensi menjadi keji. Dan semerta Petingkir sang paman pun tersadar, bahwa peluang adanya seseorang yang mampu menghabisi Barapati pun tak pernah tertutup. Ia telah bermetamorfosa manjadi seperti itu. Barapati telah mengambil sikap atas hidupnya, maka biarlah ia juga yang menerima konsekuensi atas sebuah pilihan. Tak ada guna lagi beradu argumentasi dengannya yang tengah kalap.

Sambil berlalu Petingkir menepuk bahu Barapati, seraya berucap, “kau takkan pernah tahu apa yang akan terjadi”.

….

Satu persatu manusia-manusia di sekelilingnya menjadi sedemikian kalap dan beringas. Berpacu berlomba mengadu kemampuan tak berbendung tak berbatas. Sekian puluh pendekar dari segala penjuru beradu untuk mendapatkan hadiah terindah. Seorang wanita yang paling diidam-idamkan seluruh pelosok nagari. Menghantam, meninju, mematahkan tulang, bahkan membunuh sekalipun mereka siap. Barapati pun tampak bahagia mendapat sambutan meriah dari para tamunya itu. Mereka meladeni tantangannya dengan senang hati. Sebuah adu kemampuan yang mematikan itu pun sepadan dengan hadiah yang dijanjikan.

Sementara itu, disudut bilik bambu bercahayakan ublik sambu, seorang wanita muda menangis sesenggukan di pelukan embok paruh baya. Dialah Sri Kumala Rajapadni, wanita sang adipati. Seorang yang kini nasibnya seakan tak mampu ia kendalikan sendiri. Hidup yang dulu ia serahkan pada seorang pemuda tangguh penuh kasih sayang, kini benar-benar harus digadaikan dan dipermainkan. Sang pemuda, bermetamorfosa menjadi sosok yang tak bisa dikendalikan lagi. Segala ucap cinta, semua sikap sayang, dan seluruh tetek bengek perhatian atas sebuah konsekuensi rasa, sekejap saja lenyap, hangus, terbakar oleh api dendam, ambisi dan amarah. Semuanya menjadi asap terbang ke atas ditiup angin hingga ke awan pun tak mampu. Sang kekasih telah membuktikan kepada dunia, setidaknya pada dirinya, tak pernah pantas seseorang menyerahkan diri begitu saja pada siapapun yang tak berhak. Ia menangis akan hilangnya sebentuk rasa yang dulu ada. Ia tersedu pada tak berbalasnya pengaduan di malam-malam sendu. Ia memerah meradang, bahwa kekasihnya kini menjadikannya sebagai taruhan adu kemampuan durjana.

“Menangislah nduk ayu, menangislah. Tumpahkan segala kecewamu. Andai kau izinkan nduk ayu, dari dulu telah kumatikan pemuda yang kau puja itu. Biarkan racunku menghancurkan setiap urat sendi tubuhnya yang telah bahu membahu menyakitimu. Tapi kau melarangku nduk. Dari sejak pertama ia menyakitimu, telah kusiapkan racun itu baik-baik di tanganku. Tapi kau selalu melarangku. Berhentilah menjadi pahlawannya nduk. Ia telah membuktikan dirinya menjadi manusia kejam dan lupa.” Ujar simbok terhanyut dalam biru.

“Aku memang pernah salah karena lebih memilihnya daripada patuh pada ayahanda. Maka aku tak mau mengulang salahku lagi mbok, aku tak mau berpaling dari suamiku. Aku mencintainya, meskipun ia kini tak begitu adanya. Aku menyayanginya, walaupun tak kutahu kini bagaimana ia. Aku akan selalu setia padanya, hingga suatu masa saat ia kembali datang mencinta akan adanya aku. Aku tahu itu akan terjadi, kalaupun tidak seperti itu, aku akan tetap menunggu.” gumam sang wanita muda di sela isaknya.

“Tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini mbok. Suamiku tak lagi mengharapkanku. Saudara dan rakyatku hanya mengelu-elukan kecantikan dalam ketidakberdayaanku. Biarkan aku pergi menyambut sunyi. Mungkin memang hanya cukup seperti ini garisku bertahan bertahan di sini. Ikhlaskan aku berlalu dengan membawa pilu. Dan untuk dia, matahariku, cukup sampaikan salamku.”

“Oalah nduk ayu, aku tak bisa menahanmu untuk tetap tinggal. Pergilah jika itu memang bisa mengembalikan sebentuk senyum di parasmu. Berangkatlah bila itu memang mampu meredakan kecewa di hatimu. Semoga Gusti kan akarya jagat memberimu selamat. Dan untuk Barapati tuanmu, akan kusampaikan salammu.”

…..

Di pucuk gelisah aku tetap menapaki jalanku. Memang sunyi karena aku sendiri. Memang sepi karena tak ada kau kini. Semerta saja aku mengenali satu masa diujung kembara rasa. kau mengenalku sebagai sosok tak bercelanoktah. Setitik setetes tak tampak tak terasa. Begitu rupawan mempesona tiada tara. Kulewatkan saja, barangkali kau sedang berharap cipratan sahaja. Kubiarkan itu berlalu, mungkin kau kan bangun lagi dari tidurpingsanmatimu. Detikmenitjamhari, masih tetap sama. Detikmenitjamhari, tak jua berubah. Aku pun goyah. Dan kutunggu lagi. Hariminggubulantahun, kau tetap teguh. Hariminggubulantahun, membara dalam diam. Aku luluh, tersimpuh, pertahanan benar-benar runtuh.

Tetapi memang berhenti di tahun adaku untukmu. Tak kurang, apalagi lebih. Karena memang di luar kuasaku, teguhmu luntur begitu saja di mataku. Kau tetap kokoh, tapi tak lagi prokoh. Kau tetap sangar, meski semakin samar-samar.

Sebuah keputusan untuk merampungkan sebentuk kisah. Kau lenyap menjadi asap. Maka akulah angin, berhembustiup ke segala penjuru kutub. Membawamu dan segala tentangmu ke awan. Membumbung, melambung, berarak, berjarak. Hingga semesta pun mengerti, bahkan mengenali, inilah cerita sang budak dunia.


Malang, 16 Juli 2011